Wiratno: Pengalaman Perempuan Sangat Menonjol Dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi
Berita Baru, Jakarta – Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE) mengatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia bisa diselesaikan dengan cara berpikir yang baru.
Hal tersebut disampaikan melalui Direktur Jenderal KSDAE Wiratno dalam Festival Ibu Bumi untuk memperingati International Women’s Day (IWD) 2022 yang diselenggarakan oleh The Asia Foundation (TAF), Gender Focal Point (GFP), dan Beritabaru.co, Senin (14/3).
Menurut Wiratno, pembaruan cara berpikir di sini penting agar seseorang tidak lagi menggunakan paradigma lama yang notabene dari paradigma tersebut, kekerasan terhadap perempuan justu lahir.
“Kekerasan terhadap perempuan bisa diselesaikan dengan cara berpikir baru, bukan cara berpikir lama yang menyebabkan persoalan itu lahir,” jelas Wiratno.
Dalam kegiatan yang dipandu oleh Diah Mardhotillah dan Prita Laura ini, Wiratno memaparkan bahwa cara berpikir baru tersebut mencakup setidaknya 5 (lima) hal yaitu pengetahuan atas potensi alam, spirit konservasi, basis konservasi, mandat pemerintah, kolaborasi.
Poin pertama berhubungan dengan istilah yang Wiratno sebut sebagai biological and cultural diversity (BCD).
BCD adalah poros dari 8 nilai yang dimiliki Indonesia yaitu nilai intrinsik, nilai ekologis, nilai genetis, nilai sosial, budaya dan spiritual, ekonomi, estetik dan rekreasi, dan nilai edukasi dan sains.
“Ini kan peta umum yang dari sini, nilai ekonomi hanya bagian kecil saja,” tegasnya dalam Webinar bertajuk Praktik Baik Perjuangan Perempuan untuk Pencegahan dan Penanganan Kekerasan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam di Indonesia: Membangun Pengelolaan SDA yang Setara dan Inklusif ini.
Poin kedua merujuk pada 5 (lima) prinsip pengelolaan kawasan konservasi yang mencakup kepeloporan, keberpihakan, kepedulian, konsistensi, dan kepemimpinan.
“Semua ini penting ya. Kepeloporan misalnya, tanpa ini, tidak ada program apa pun,” ungkap Wiratno.
Poin ketiga lebih pada poros pergerakan, yaitu bagaimana pengelolaan kawasan konservasi harus berpijak pada 5 (lima) hal yaitu regulasi, sains, bukti, pengalaman, dan prinsip pencegahan.
“Peran perempuan sangat menonjol di bagian bukti dan pengalaman,” katanya.
Poin keempat tidak lain merupakan tugas pemerintah dalam mengelola kawasan konservasi. Wiratno menyampaikan, pemerintah dalam kasus ini harus adaptif, produktif, inovatif, kompetitif, dan tentu inklusif.
Kemudian, yang terakhir adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan, yakni kerja sama multipihak. Wiratno menyebut, untuk pengelolaan konservasi yang inklusif di Indonesia, pemerintah menggandeng masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media.
“Kolaborasi ini akan dijalankan berdasarkan tiga prinsip penting, yakni trust, respect, dan benefit,” ungkapnya.
Perlu diketahui webinar yang ditayangkan langsung melalui kanal Youtube Beritabaruco dan Aksi SETAPAK ini dihadiri oleh Sandra Hamid, Sandra Moniaga Komisioner Komnas HAM, Bahrul Fuad Komisioner Komnas Perempuan, dan beberapa lainnya.