Wali Nanggroe Aceh Serahkan 5000 Data Kasus Pelanggaran HAM ke Mahfud MD
Berita Baru, Jakarta – Wali Nanggroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Al Haytar menyerahkan 5.000 data kasus pelanggaran HAM di Aceh kepada Menko Polhukam Mahfud MD.
Data pelanggaran HAM itu merupakan hasil dari rekapitulasi investigasi langsung oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh untuk merespons pengakuan Presiden terkait kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi, termasuk di wilayah Aceh.
“Kita minta segera ditindaklanjuti dari negara terhadap tiga kasus yang telah ada pengakuan dari presiden, dan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lainnya yang terjadi di Aceh di masa lalu,” kata Malik Mahmud dalam keterangannya pada Jumat (3/3/2023).
Kendati demikian, menurut Mallik, di luar 5.000 itu, masih banyak lagi kasus yang sedang dikumpulkan datanya. Kemudian ada kasus pelanggaran HAM lain pasca-damai, misalnya kasus pembantaian di Atu Lintang, Aceh Tengah.
Kepada Mahfud MD, Wali Nanggroe menceritakan pasca-kasus Atu Lintang terjadi, ia turun langsung ke lapangan untuk meredam suasana yang semakin memanas.
“Kita sangat komit dengan perdamaian ini, dan kita juga ingin Pemerintah Pusat komit dengan apa yang telah diatur dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh,” katanya.
Sementara itu, mantan Panglima Operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Kamaruddin Abubakar yang ikut serta menyerahkan dokumen itu mengatakan pihaknya tetap berkomitmen dengan perdamaian. Selama ini, pihaknya terus berupaya menjaga stabilitas 50 ribu mantan kombatan GAM di lapangan.
“Dan itu (menjaga stabilitas mantan kombatan GAM) bukan perkara mudah,” kata Abu Razak.
Hingga saat ini, pihaknya terus mendapat desakan-desakan di lapangan, terkait implementasi secara menyeluruh butir-butir perjanjian damai Aceh, dan pasal-pasal dalam UU Pemerintah Aceh.
Bahkan, karena implementasi perdamaian Aceh tidak tuntas meskipun telah memasuki usia 17 tahun, pihaknya mendapat banyak tuduhan dari para mantan kombatan GAM.
“Kami minta agar poin-poin MoU Helsinki harus segera diselesaikan. Kami terus mendapat tekanan dari lapangan,” kata Abu Razak.
Selain itu, juga ada tanggung jawab lain yang harus dirawat, yaitu anak-anak korban konflik yang saat ini telah beranjak dewasa, yang ingin menempuh pendidikan, atau yang sedang menempuh pendidikan.
“Mereka juga bertanya kepada kami tentang keberlanjutan perdamaian seperti yang tertuang dalam MoU Helsinki dan UU Pemerintah Aceh,” ucapnya.