WALHI Ungkap Fakta Lingkungan Hidup atas Pidato Presiden Jokowi di COP26
Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) mengungkap fakta yang berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP 26 di Glasgow, Skotlandia, berlangsung pada 1-2 November 2021.
Wahyu A. Perdana, Manajer Kampanye Eksekutif Nasional WALHI menyatakan bahwa yang disampaikan Presiden Jokowi mengenai laju deforestasi di tanah air yang turun signifikan dan terendah dalam 20 terakhir tidak sesuai dengan fakta.
“Deforestasi terselubung melalui izin pinjam pakai kawasan hutan, untuk tambang 117.106 HA dan non tambang 14.410 HA. Pelepasan kawasan hutan masih terjadi, bahkan saat periode masa moratorium hutan yang mencapai 618.357 HA,” kata Wayu, dikutip dari rilis WALHI di laman resmi WALHI, (4/11).
Ia juga menyebut, merujuk data audit BPK 2019 sawit dalam kawasan hutan secara tidak sah mencapai luas 2.749.453 HAdi 6 Provinsi. “Ironisnya pada masa presiden Jokowi justru terjadi “pemutihan kejahatan korporasi” melalui Omnibus Law,” ungkapnya.
“Atas nama keterlanjutan diberikan waktu 3 tahun untuk “enyelesaian keterlanjutan kebun kelapa sawit”. Istilah “keterlanjutan” merujuk paparan menteri LHK tertanggal 7 oktober 2020, 2 hari setelah Omnibus Law “Cilaka” UU-CK “diketuk palu” DPR,” tegasnya.
Selain itu, kata Wahyu, yang tidak sesuai fakta lapangan yang sampaikan Presiden Jokowi dalam KTT itu, mengenai menurunnya kebakaran hutan (karhutla) hingga 80% di tahun 2020. “Kebakaran hutan dan lahan masih terjadi, berdasar citra satelit LAPAN, dengan confedential diatas 80% tercatat 17.901 hotspot,” ungkapnya.
Wahyu menuturkan, berdasar catatan FWI, pada tahun 2021 ada sekitar 229 ribu HA hutan dan lahan yang terbakar di Indonesia. Tahun 2019 luas hutan dan lahan yang terbakar mencapai 1,6 juta HA, dimana 1,3 jua ha (82%) terjadi di Pulau Sumatera dan Kalimantan.
“Ironisnya di dua pulau itu pula izin-izin industri ekstraktif menguasai hutan dan wilayah adat,” katanya.
Fakta lain yang diungkap WALHI mengenai pemanfaatan energi baru dan terbarukan. “Faktanya ESDM memutus atau meningkatkan target produksi batubara tahun ini dari 550 juta ton menjadi 625 ton di tahun 2021,” imbuhnya.
“Padahal realisasi pada tahun sebelumnya jauh dibawa target, hanya mencapai 286 juta ton. Artinya jika target ditambah akan banyak tambang dibuka dan meningkatkan risiko pada iklim dan lingkungan hidup,” jelas Wahyu.
Dalam dokumen RUPTL PLN Tahun 2021-2030 yang di klaim sebagai RUPTL Hijau, tuturnya, juga masih menyebutkan rencana untuk membangun PLTU batubara dengan kapasitas 13,8 GW sampai tahun 2030. “Hal ini tentu bertentangan dengan upaya untuk menghentikan secepatnya penggunaan batubara sebagai sumber energi,” katanya.
“Dalam konteks penggunaan energi bersih, menjadi ironi jika pada akhirnya penggunaan energi masih standar pada pembangkit listrik energi fosil tanpa ada upaya serius melakukan transisi energi,” tambah Wahyu.
Wahyu menilai, Carbon market pada akhirnya tidak lebih dari solusi palsu menyerahkannya pada skema pasar karbon, tidak meletakkan rakyat sebagai subyek, pada akhirnya tidak ada dampak signifikan pada perubahan iklim.
“Dan pada akhirnya, rentan menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan,” tukasnya.