WALHI Sulteng Desak Pemerintah Hentikan Klaim Tanah Adat oleh Badan Bank Tanah di Poso
Berita Baru, Sulawesi Tengah – Masyarakat adat di Desa Watutau, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, menggelar protes terhadap Badan Bank Tanah yang baru-baru ini mengklaim hak atas lahan adat mereka. Kasus ini mencuat setelah Badan Bank Tanah memasang patok dan plang larangan di area lahan pertanian dan perkebunan masyarakat, termasuk lahan yang telah lama dikelola oleh komunitas setempat.
Kemudahan berinvestasi di Indonesia, yang diatur dalam UU Cipta Kerja, mendorong pembentukan Badan Bank Tanah, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 2021 dan Peraturan Presiden No. 113 Tahun 2021. Badan ini bertanggung jawab untuk perencanaan, pengadaan, dan pengelolaan tanah dengan status Hak Pengelolaan. Namun, implementasi kebijakan ini menuai kontroversi, terutama terkait dengan pengelolaan tanah adat. Seperti dikutip dari Siaran Pers Walhi Sulawesi Tengah pada Kamis (1/8/2024).
Berdasarkan rilis dari website Badan Bank Tanah, area yang diklaim di Kabupaten Poso mencakup 6.648 hektar dari total 7.740 hektar lahan eks Hak Guna Usaha (HGU) PT Sandabi Indah Lestari (SIL). Tanah tersebut tersebar di beberapa desa dan kecamatan, dengan sebagian besar tanah diklaim sebagai tanah dikuasai negara. Profil aset Bank Tanah menunjukkan bahwa lahan ini akan dimanfaatkan untuk pertanian dan perkebunan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Isna Ragi, Kepala Divisi Solidaritas Perempuan (SP) Palu, mengkritik keputusan Bank Tanah yang dianggap mengabaikan hak-hak masyarakat adat. “Setelah HGU PT SIL berakhir, tanah tersebut diambil alih oleh Bank Tanah tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat adat yang sudah lama mengolah tanah tersebut,” kata Isna. Ia menilai tindakan ini sebagai bentuk perampasan tanah yang merugikan masyarakat adat Pekurehua.
Forum Masyarakat Lamba Bersatu juga mengecam tindakan Bank Tanah yang memasang plang larangan di lahan pertanian dan perkebunan mereka. Mereka menuntut agar Bank Tanah melakukan sosialisasi dan menghentikan aktivitas di lahan-lahan warga. “Bank Tanah tidak hanya mematok lahan eks HGU PT SIL, tetapi juga lahan pertanian dan pekarangan rumah masyarakat,” tegas seorang perwakilan forum.
WALHI Sulawesi Tengah mengungkapkan bahwa perjuangan masyarakat Desa Watutau dalam mempertahankan tanah adat mereka telah berlangsung sejak awal penetapan HGU oleh pemerintah pada 2005. Protes terhadap Bank Tanah pada awal 2023 menunjukkan bahwa masalah ini masih belum terselesaikan. “Kehadiran Bank Tanah memperparah ketimpangan penguasaan lahan dan konflik agraria yang telah berlangsung lama,” kata WALHI.
Organisasi masyarakat sipil merespons dengan pernyataan sikap yang mendukung perjuangan masyarakat adat Desa Watutau. Mereka mendesak Menteri ATR/BPN untuk mencabut status Hak Pengelolaan Bank Tanah, serta meminta Bupati Poso dan DPRD setempat untuk merekomendasikan pencabutan hak tersebut. Selain itu, mereka menyerukan agar KOMNAS HAM dan Ombudsman melakukan pengawasan terkait dugaan pelanggaran hak dan fungsi-fungsi Badan Bank Tanah.
Sementara itu, Badan Bank Tanah diimbau untuk menghentikan aktivitas dan menarik atribut mereka dari wilayah Desa Watutau hingga semua tuntutan dipenuhi. Situasi ini menyoroti ketidakadilan dalam pengadaan tanah dan perlunya perlindungan yang lebih baik bagi hak-hak masyarakat adat di Indonesia.