Walhi Jatim Sebut Pemerintah Tak Serius Pulihkan Kawasan Mangrove
Berita Baru, Jawa Timur – Kawasan mangrove di Jawa Timur berada dalam ancaman serius, dengan degradasi yang terus berlanjut meski berbagai upaya pemulihan telah dicanangkan. Ini menjadi sorotan setelah Indonesia terpilih sebagai ketua baru dalam pertemuan ASEAN Senior Official on Forestry (ASOF) ke-27 di Bogor, 16-19 Juli 2024. Dalam pidatonya, delegasi Indonesia yang diwakili oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menekankan pentingnya pengelolaan kawasan mangrove.
Namun, Walhi Jatim, dalam siaran persnya pada Minggu (28/7/2024), menekankan bahwa komitmen pemerintah untuk melindungi mangrove harus lebih dari sekadar deklarasi. Selama ini, kawasan mangrove mengalami deforestasi yang signifikan, dengan data menunjukkan penurunan luas hutan mangrove dari 9,36 juta hektar pada tahun 1980 menjadi hanya 3,31 juta hektar pada tahun 2020. Alih fungsi lahan menjadi perumahan, tambak, dan reklamasi menjadi penyebab utama penurunan ini.
Walhi Nasional mengkritik tumpang tindih peraturan yang mempengaruhi pemulihan mangrove. UU Cipta Kerja dan PP 27 Tahun 2021 yang memperbolehkan konversi mangrove untuk Proyek Strategis Nasional bertentangan dengan kebijakan pemulihan yang ditetapkan dalam Perpres No 120 Tahun 2022. Komitmen pemerintah dalam pemulihan dan pengelolaan mangrove patut dipertanyakan.
Di Jawa Timur, situasi semakin memburuk. Berdasarkan Peta Mangrove Nasional 2021, provinsi ini memiliki luas mangrove terbesar di Pulau Jawa dan Bali, dengan total 27.221 hektar. Namun, hasil penelitian menunjukkan degradasi signifikan: dari 57.500 hektar pada 1985, tersisa hanya 27.221 hektar, dengan penurunan sekitar 841 hektar per tahun. Di Madura, luas mangrove menyusut dari 15.118,1 hektar menjadi sekitar 10.000 hektar, dengan 41,8% dalam kondisi rusak. Di Surabaya, kawasan mangrove menyusut dari 3.300 hektar pada 1978 menjadi 1.500-2.000 hektar pada 2020, akibat konversi lahan menjadi perumahan.
Walhi mencatat bahwa meskipun pemerintah provinsi dan kabupaten telah meluncurkan berbagai program pemulihan, degradasi terus berlanjut. Kesalahan mendasar pada level kebijakan dan tumpang tindih regulasi menjadi faktor utama. Contohnya, proyek strategis nasional seperti waterfront city di Surabaya bertentangan dengan status kawasan lindung pesisir, memicu kerusakan lebih lanjut pada mangrove.
Dalam Siaran Persnya Walhi menguraikan mengenai menangani masalah ini, diperlukan komitmen pemerintah yang lebih serius serta kesadaran ekologis dan kehendak politik yang kuat. Penataan ruang harus lebih fokus pada pelestarian lingkungan, bukan hanya pertumbuhan ekonomi. Selain itu, pengelolaan kawasan lindung harus didukung oleh regulasi yang ketat dan prinsip penanggulangan bencana dan krisis iklim. Tanpa langkah konkret, penanaman kembali mangrove hanya akan menjadi kebijakan tambal sulam yang tidak mengatasi akar masalah.