Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Meila Nurul Fajriah
Meila Nurul Fajriah

WALHI Jatim Desak Hentikan Kriminalisasi Meila Nurul Fajriah



Berita Baru, Jawa Timur – WALHI Jatim menuntut penghentian kriminalisasi terhadap Meila Nurul Fajriah, seorang pembela hak asasi manusia (HAM) dan pendamping korban kekerasan seksual. Pernyataan solidaritas ini disampaikan dalam siaran pers yang dirilis pada Senin (29/7/2024) sebagai respons terhadap penetapan Meila sebagai tersangka atas tuduhan pencemaran nama baik oleh Ibrahim Malik (IM), pelaku kekerasan seksual.

Kasus ini bermula pada April 2020, ketika Meila, bersama LBH Yogyakarta, membentuk posko pengaduan untuk memberikan akses keadilan kepada korban kekerasan seksual. Langkah berani Meila, yang dilakukan untuk menuntut keadilan bagi korban, justru berujung pada tuduhan pencemaran nama baik. Ibrahim Malik, pelaku kekerasan seksual, melaporkan Meila berdasarkan video diskusi di YouTube tentang kekerasan seksual, dengan tuduhan yang mengacu pada Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam siaran persnya, WALHI Jatim mengecam penetapan Meila sebagai tersangka sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak-hak perlindungan yang seharusnya dijamin oleh hukum untuk pembela HAM dan pendamping korban kekerasan seksual. Penetapan ini, menurut WALHI, mengabaikan hasil investigasi internal Universitas Islam Indonesia (UII) yang telah mengungkapkan pelanggaran yang dilakukan oleh Ibrahim Malik. Rektor UII bahkan telah mencabut gelar mahasiswa berprestasi Malik setelah bukti-bukti kekerasan seksualnya terungkap.

Kriminalisasi terhadap Meila dinilai tidak hanya sebagai tindakan yang melanggar hak imunitas advokat, yang dijamin oleh Pasal 16 Undang-Undang Advokat, menyatakan bahwa advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan iktikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan. Menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menuntut pembela HAM dan juga pendamping korban kekerasan seksual, adalah pelanggaran terhadap hak imunitas advokat.

Selain itu juga, kriminalisasi ini juga mengabaikan pasal 28 dan 29 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, yang mengatur hak pendampingan korban kekerasan seksuan untuk memperoleh perlindungan hukum. Pasal-pasal tersebut dirancang guna memastikan bahwa pendamping kroban kekerasan seksual, dapat bekerja tanpa takut terhadap tindakan balasan yang dapat menghambat proses dan upaya meraka dalam memperoleh keadilan. Menetapkan Meila sebagai tersangka menunjukan ketidakpedulian terhadap hak-hak pendamping korban kekerasan seksual. Penetapan ini justru membuat ancaman terhadap seluruh pembela HAM dan pendamping korban kekeresan seksual untuk memperoleh keadilan.

Sebagaimana tertuang dalam Siaran Pers WALHI Jatim, kriminalisasi terhadap Meila memperlihatkan kecacatan sistem hukum di Indonesia, hal ini tentu menjadi sorotan utama dalam kasus ini. WALHI Jatim menilai bahwa kriminalisasi Meila adalah contoh nyata dari ketidakadilan sistem hukum yang ada, dan menunjukkan bagaimana upaya untuk membela korban kekerasan seksual sering kali berujung pada ancaman kriminalisasi.

Menyikapi situasi ini, WALHI Jatim mendesak Polda DIY untuk segera menghentikan proses kriminalisasi terhadap Meila dan memastikan hak-hak pendamping korban kekerasan seksual dihormati dan dilindungi. Kasus ini diharapkan menjadi momentum untuk memperbaiki sistem hukum dan memastikan keadilan bagi semua pembela HAM di Indonesia.