Tragedi Sigi, Peringatan Hari Toleransi dan Klenteng Eng An Kiong
Baru saja dua minggu yang lalu kita memperingai Hari Toleransi Internasional yang sejak tahun 1996, setiap tanggal 16 November warga dunia memperingatinya. Minggu ini, Indonesia kembali digemparkan dengan tindakan intoleran yang terjadi di salah satu rumah ibadah klenteng di Desa Lemban Tonga, Sigi, Sulawesi Tengah. Peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Sigi ini banyak dikutuk dan dikecam oleh berbagai pihak. Pasalnya peristiwa seperti ini kerap terjadi dengan melegitimasi agama-agama tertentu dengan tujuan memecah belah bangsa Indonesia yang majemuk.
Membincang rumah ibadah dan toleransi, mungkin menarik jika kita belajar dari Klenteng Eng An Kiong yang berada di Kota Malang dan hampir berusia dua abad. Secara umum, anggapan masyarakat terhadap klenteng adalah rumah ibadah bagi penganut agama Konghucu saja. Namun, setelah mengunjungi Klenteng Eng An Kiong kita akan mendapati satu tempat peribadatan digunakan oleh tiga agama, yang hidup penuh rasa toleran dalam melaksanakan peribadatannya.
Klenteng menjadi tempat ibadah tiga agama sekaligus ini bukan tidak memiliki sejarah panjang. Mulanya, agama tertua yang sudah dianut oleh masyarakat di Cina adalah agama Tao. Setelah beberapa tahun, masuklah agama Budha, yang melebur bersama agama. Barulah diakhir perkembangan agama di Cina muncul Konghucu, sekitar 2571 tahun yang lalu. Pada saat menyusun kitabnya Nabi di agama Konghucu mengajak dari dua agama yang lain untuk bermusyawarah bersama dan penuh rasa toleransi. Dari sejarah panjang inilah yang melatar belakangi adanya tiga agama sekaligus di satu rumah ibadah.
Budaya toleransi yang sudah dibangun sejak zaman nenek moyang ini terus melekat dan membudaya di lingkungan klenteng. Karena pada dasarnya adanya perbedaan terlebih dalam beragama bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan. Tapi hal tersebut merupakan suatu keniscayaan yang akan membentuk manusia untuk memiliki rasa toleransi yang tinggi. Sebab, mayoritas budaya intoleran timbul sebab adanya faksi politik dalam beragama.
Saat memasuki Klenteng Eng An Kiong di bagian depan merupakan teras yang menjadi tempat atau ruangan awal, ketika umat akan beribadah. Di tempat ini tidak terdapat patung dewa ataupun dewi, sebab pada dasarnya yang disembah oleh mereka masih Tuhan YME. Di teras depan inilah sembari menghadap ke arah gerbang masuk, mereka akan berdoa menghadap langit untuk meminta izin kepada Tuhan akan mengunjungi Dewa-Dewi di ruangan-ruangan yang ada dalam Klenteng.
Ada ruangan-ruangan khusus untuk beberapa Dewa dari tiga agama yang ada, akan tetapi beberapa Dewa disembah oleh ketiga agama ini sekaligus. Jadi secara umum, yang berbeda dari ketiga agama ini adalah pelaksanaan peribadatannya, sedangkan saat melebur di sini seluruh Dewa yang ada di Klenteng dihormati oleh seluruh agama, rasa saling menghormati dan menghargai ini yang menjadi akar kuatnya rasa tolernasi diantara ketiga agama tadi.
Dewa dan Dewi yang ada di setiap ruangan kecil di klenteng terbagi menjadi dua berdasarkan asal muasalnya. Ada yang dari mereka merupakan seseorang yang selama masa hidupnya adalah orang bijak yang menebarkan kebaikan, sehingga hingga dia meninggal tetap dihormati. Selain itu ada juga yang sudah disembah dan dihormati bahkan sebelum Dewa tersebut lahir ke muka bumi. Sehingga, tak heran ada begitu banyak ruangan dengan identitas yang berbeda-beda di dalam klenteng. Namun, nuansa kerukunan dan rasa nyaman serta aman dalam beribadah sangat tinggi terasa di sini.
Selain itu, hal unik lainnya di sini adalah saat perayaan Imlek. Tepatnya, pada hari ke-15 setelah Imlek. Kalau di Islam kita mengenal adanya Hari Raya Ketupat setelah tujuh hari dari Hari Raya Idul Fitri. Maka di Klenteng akan ada perayaan Cap Gomeh, dengan makanan khasnya “Lontong Cap Gomeh” yang hanya ada di Indonesia. Hal ini juga menggambarkan tingginya rasa toleransi dengan budaya dan kearifan lokal, yang berkembang di masyarakat Indonesia.
Klenteng Eng An Kiong mengajarkan betapa indahnya hidup berdampingan antar tiga agama (Tridharma), tanpa mempermasalahkan perbedaan ataupun merasa lebih unggul dibandingkan yang lainnya. Karena pada dasarnya selisih perbedaan dalam ajaran agama adalah hal yang wajar dan tidak perlu diperdebatkan, tidak ada hasil yang dapat diperoleh. Sebab setiap keyakinan adalah bebas dan tidak dapat dipaksakan, semua kembali kepada hati nurani masing-masing orang.
Kemajemukan yang ada pada satu rumah ibadah saja mampu dibangun dengan harmonis. Jika setiap elemen yang ada didalamnya mau saling menerima keberagaman yang sudah mejadi sunnatullah, apalagi ditatanan bangsa Indonesia yang sangat heterogen dan multikultural. Negara yang beragam dan beragama namun bukan negara agama, sehingga perlu adanya penguatan dan pemahaman bersama pentingnya menumbuhkan sikap toleran antar sesama, agar mereka yang memiliki visi memecah belah bangsa dapat kita tangkal keberadaannya.
Nuril Qomariyah, lahir di kota Bondowoso, Mahasiswa Berprestasi Kategori Intelektual dan belajar di Fisika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini menjadi Koordinator Perempuan Bergerak dan pegiat literasi di Gubuk Tulis.
Rafika Aprilianti
Lahir di kota Bondowoso, Mahasiswi Fisika UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Saat ini menjadi Koordinator Perempuan Bergerak dan bagian pegiat literasi di Gubuk Tulis.