Tolak Relaksasi Pembayaran Royalti, Direktur ESDM: ini Berdampak pada Penerimaan Negara
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menolak permintaan relakssasi pembayaran royalti di tengah pandemi covid-19 yang diajukan oleh pengusaha batu bara.
Menurut Direktur Penerimaan Minerba Kementerian ESDM Johnson Pakpahan, relaksasi royalti bisa memberikan dampak yang signifikan terhadap penerimaan negara, terlebih saat kondisi sedang pandemi seperti ini yang mengharuskan pemerintah mengeluarkan banyak dana.
“Kalau saya enggak mau relaksasi, karena belum melihat itu urgent dan dampaknya banyak. Pimpinan kami (Menteri ESDM) tidak mengarahkan untuk memperbolehkan dan tetap sesuai ketentuan,” kata Johnson dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/6).
Saat ini, royalti batu bara dihitung menggunakan formulasi harga mana yang lebih tinggi antara harga patokan dengan harga jual. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah praktik kecurangan seperti transfer pricing dimana pemegang izin melakukan transaksi antara anak perusahaan maupun trader yang terafiliasi.
“Harga aktual pun belum tentu menggambarkan harga yang sebenarnya. Formulasi yang berlaku justru untuk menghindari transaksi perusahaan yang tidak wajar,” katanya.
Selain meminta perubahan penghitungan formula royalti, para pengusaha memohon untuk membayar royalti setelah pengapalan. Menurutnya, hal itu akan mengganggu arus kas penerimaan negara yang saat ini tertekan pandemi Covid-19.
Saat ini para perusahaan mendapatkan pembayaran kontrak di muka, sehingga hal yang sama seharusnya diberlakukan oleh perusahaan untuk membayar kewajiban ke pemerintah.
Dia menilai pembayaran royalti di muka juga mempermudah pemerintah dalam melakukan pengawasan terhadap pemenuhan kewajiban perusahaan.
“Kalau perusahaan menerima pembayaran di muka, pemerintah juga mendapatkannya. Jika ada penundaan akan sangat mengganggu cash flowbpemerintah,” ujar Johnson.
Sebelumnya, para pengusaha tambang meminta diberikannya relaksasi sementara pembayaran royalti batu bara.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Baru Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, di saat kondisi pasar yang oversupply sehingga harga komoditas terus tertekan, perusahaan mengalami kesulitan dalam mengelola cash flow akibat semakin melebarnya disparitas selisih antara Harga Patokan Batubara (HPB) dengan harga jual batubara FOB aktual.
“Banyak pembeli lebih prefer harga jual menggunakan acuan harga sesuai indeks atau dikenal dengan istilah index-linked,” ujarnya.
Berdasarkan Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara, untuk pembayaran royalti ke negara harus mengacu kepada HPB. Dengan kondisi pasar seperti ini, harga jual aktual batubara semakin rendah sehingga perusahaan terbebani dengan selisih tersebut yang menjadi kewajiban yang harus dibayar.
APBI meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian ESDM merevisi sementara Keputusan Menteri ESDM No. 1823 K/30/MEM/2018 tentang Pedoman Pelaksanan Pengenaan, Pemungutan, Dan Pembayaran/Penyetoran Penerimaan Negara Bukan Pajak Mineral dan Batubara.
Selain itu, APBI juga mengusulkan adanya revisi sementara Kepmen terkait sistem pembayaran royalti agar dapat dilakukan paling tidak sebulan sesudah pengapalan.