Tantangan Pangan dan Nasib Regenerasi Petani
Oleh : Parno S. Mahulae
Sulit rasanya menemukan keinginan pemuda hari ini untuk menjadi seorang petani. Padahal negara kita Indonesia dijuluki sebagai negara agraris. Banyak anak-anak muda yang tidak tertarik menjadi petani dikarenakan petani masih dianggap kuno dan belum bisa mendongkrak angka kemiskinan.
Ada juga kemungkinannya karena gengsi, orang lebih suka bekerja di bidang non pertanian. Tapi jika pertanian dikemas lebih modern dan menarik, orang-orang akan tertarik masuk pertanian.Tapi, pekerjaan sebagai petani dianggap kurang menarik adalah tren di dunia, itu tantangan besar.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistika) pada 2013 mengungkapkan bahwa 65 persen jumlah petani di Indonesia kini berusia 45 tahun ke atas dengan produktivitas relatif rendah. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengungkapkan hanya sekitar empat persen anak muda usia 15-23 tahun yang tertarik bekerja jadi petani.
Fenomena tidak suka jadi petani ini terjadi di pedesaan. Banyak anak muda memilih pindah ke kota bekerja di sektor informal atau industri kecil menengah, sisanya memilih bekerja di sektor produksi. Pekerjaan di sektor produksi dipandang lebih potensial menjamin kesejahteraan mendatang dibanding menjadi petani oleh anak muda.
Pada tahun 2016 presiden Jokowi pernah juga menyinggung anak-anak muda yang lebih memilih menjadi pegawai bank ketimbang menjadi petani. Sindiran ini disampaikan Jokowi dalam Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB, Bogor. Hadir dalam acara tersebut ribuan mahasiswa, dosen hingga rektor IPB.
Dalam sambutannya bapak Presiden Jokowi mengatakan bahwa harusnya mahasiswa lulusan IPB bisa bekerja untuk sektor pertanian yang lebih modern. Mahasiswa bisa menggunakan teknologi terkini seperti Google Earth hingga drone untuk mengembangkan sektor pertanian. Bapak presiden Jokowi percaya bahwa mahasiswa dan anak-anak muda lebih memiliki pemikiran modern dan lebih mudah berinovasi dengan teknologi.
Bagaimana dengan negara lain
Fenomena kurang menariknya menjadi petani bukan hanya ada di Indonesia. Di negara lain seperti Jepang juga terjadi hal demikian. Sebab dalam 10 tahun terakhir jumlah warga Jepang yang terlibat dalam produksi pertanian turun dari 2,2 juta orang menjadi 1,7 juta orang. Sementara umur pekerja sekarang di Jepang adalah 67 tahun.
Jika hal itu dibiarkan maka akan terjadi penurunan drastis terhadap produksi pertanian. Sementara pertambahan jumlah penduduk terjadi di seluruh penjuru dunia. Diprediksi pada tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan meningkat dari 7,7 miliar akan bertambah menjadi 9,8 miliar.
Dengan penambahan jumlah penduduk dunia tentu akan bertambah pula permintaan akan ketersediaan makanan. Hal itu dapat menciptakan kesempatan bisnis besar. Tetapi dengan fenomena penurunan jumlah petani diseluruh dunia maka jumlah permintaan akan sulit terpenuhi. Perlu ada upaya untuk menarik anak-anak muda untuk tertarik dalam pengembangan pertanian.
Jepang cukup cepat untuk berbenah. Di Jepang pemanfaatan teknologi menjadi salah satu cara untuk menarik orang-orang muda untuk terlibat dalam produksi pertanian. Lewat teknologi pemerintah Jepang berusaha menarik perhatian anak muda yang sebelumnya kurang tertarik bekerja di lahan, tetapi tertarik pada teknologi.
Pertanian di Jepang sudah menggunakan teknologi yang tinggi, sehingga tidak memerlukan jumlah petani yang banyak. Demikian juga di Australia, teknologi pertanian sudah canggih sekali. Sehingga anak muda tertarik. Di sana semua menggunakan robot.
Mendorong pertanian di era industri 4.0
Indonesia, perlu juga secepatnya berbenah, membangun pertanian memang amat penting. Terlebih di era revolusi industri yang ke-empat ini atau biasa disebut juga Industri 4.0. Revolusi industri ini ditandai dengan penggunaan mesin-mesin otomatis yang terintegrasi dengan jaringan internet. Sektor pertanian juga perlu beradaptasi dengan teknologi 4.0 untuk menjawab tantangan ke depan. Pasalnya, pertanian tak mungkin bisa mencukupi kebutuhan penduduk yang terus bertambah tanpa teknologi. Ini juga yang jadi gagasan Bapak Presiden Jokowi.
Di era keterbukaan informasi pada pertanian 4.0, sistem informasi pertanian dan mekanisasi pertanian menjadi hal yang sangat strategis untuk pengembangan pertanian. Hal itu bisa dimulai dari institusi pendidikan di bawah Kementrian Pertanian. Sebab perlu upaya menghasilkan lulusan yang adaptif terhadap teknologi, yang siap terjun ke dunia kerja dan wirausaha agribisnis, berorientasi eksport serta menjadi agents of changes dalam pembangunan pertanian.
Pengembangan sistem informasi pertanian diperuntukkan bagi kepentingan penyebaran informasi baik secara internal maupun secara eksternal dengan maksud memberikan layanan terhadap informasi secara cepat, tepat, akurat dan kekinian yang dapat mendukung institusi dalam pengambilan keputusan.
Pertanian itu sejatinya menyatukan antara darat, lautan, dan udara yang kegiatannya meliputi dari lahan hingga sampai ke meja makan, Itulah mengapa kita tidak bisa membatasi keilmuan kita melainkan perlu menjadikannya sebagai pendekatan transdisiplin begitu ungkapan menohok dari seorang Dekan Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ir. Kudang Boro Seminar, M.Sc.
Intinya, pertanian 4.0, dibutuhkan keterhubungan dan keterpaduan bekerja sama yang terintegrasi sehingga nantinya pertanian 4.0 mampu menjadikan teknologi sebagai sarana yang memudahkan petani, bukan sekedar hiburan saja.
Pertanian 4.0 bercirikan pertanian yang aktifitas dan atau proses bisnisnya harus melibatkan teknologi informasi dan jaringan internet yang menghubungkan semua unit operasinya dengan berbagai instrumen (sensor, satelit, drone) dan peralatan (robot dan mesin) yang memungkinkan itu semua bekerja secara sinergis, cepat, akurat dan cerdas berdasarkan data dan informasi relevan terkini. SDM (sumber daya manusia) yang kita miliki harus paham akan hal tersebut, sehingga peran dari generasi muda atau generasi milenial ini yang menjadi penggerak pertanian 4.0.
Gegap gempita pertanian 4.0 harus diiringi kesiapan SDM dan perubahan paradigma berfikir untuk terus maju membangun sektor pertanian sebagai penggerak perokonomian rakyat, dan tulang punggung ekonomi masyarakat Indonesia.
Diperlukan komitmen bersama dan kuat untuk menjaga predikat bahwa lembaga Pendidikan di Sektor pertanian sebagai pencipta SDM yang lulusannya sebagai lulusan yang siap menjadi tenaga kerja pertanian yang siap kerja maupun siap menjadi wirausaha pertanian dan terjaga kualitas, kuantitas dan eksistensinya dalam rangka menyongsong era pertanian 4.0.Generasi millenial merupakan orang yang memang sering bersentuhan dengan digital, pola pikirnya sangat berbeda, dia lebih cepat, lincah dan lebih terbuka, dan sebagainya. Mereka melek teknologi, itu lah yang membuat mereka lebih adaptif terhadap perubahan. Karena sikap itu dimiliki oleh generasi millenial maka sikap itu relevan dengan kondisi perkembangan teknologi yang begitu cepat. Sejatinya perkembangan pertanian di Indonesia berada ditangan generasi millenial, perlu pendekatan yang lebih untuk menarik perhatian para anak-anak muda. Dengan peran teknologi dan pemuda maka kebutuhan pangan di tahun 2050 ketika penduduk dunia mencapai 9,8 miliar akan terpenuhi.
*Parno S. Mahulae: Penulis kelahiran 1992 ini berasal dari Pakkat, Sumatera Utara. Aktif menjabat sebagai Wakil Ketua KNPI Sumut Bidang Usaha dan Aktif menuldi Toba Writers Forum.