Tanpa Kepemimpinan Perempuan, Pengelolaan Hutan Menjadi Lebih Sulit
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia dan The Asia Foundation menyelenggarakan Webinar Praktek Baik Ibu Bumi dalam Mengelola Hutan dengan tema “Memperkuat Peran Kelompok Perempuan dalam Program Perhutanan Sosial di Indonesia”, yang digelar secara virtual pada Rabu (25/8).
Kegiatan ini menghadirkan delapan orang pejuang perempuan dari berbagai daerah sebagai narasumber, yaitu Ibu Sumini dan Ibu Sentia dari LPHK Damaran Baru Kabupaten Bener Meriah, Ibu Ona Samada dan Ibu Risma dari Hutan Desa Bundoyong – Kabupaten Parigi Motong, Ibu Ritawati dan Ibu Purwani dari Kemitraan Kehutanan Desa Pal 8 – Kabupaten Rejang Lebong, Mama Amina Ahek Iha dan Mama Asnat Iha dari Hutan Desa Penghwadar – Kabupaten Fakfak.
Deputy Country Representative The Asia Foundation (TAF) Hana Satriyo mengaku senang dengan kolaborasi yang terbangun antara KLHK dan organisasi masyarkat sipil dalam melahirkan perempuan pejuang pengelola perhutanan sosial di tingkat tapak.
“Kami sangat berbahagia terus dapat bekerjasama dengan KLHK dan kelompok masyarakat sipil, dan perempuan di tingkat lokal, dalam mendukung lahirnya lebih banyak lagi perempuan hebat untuk menjaga hutan,” tutur Hana dalam sambutannya.
Hana mengungkapkan bahwa para narasumber yang akan berbagi inspirasi pada Webinar ini merupakan buah dari kerja pendampingan yang dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil melalui berbagai program yang didukung oleh TAF.
“Narasumber yang akan kita dengar hari ini lahir dari kerja pendampingan oleh masyarakat sipil. Mereka bekerja membantu kelompok perempuan mendapatkan izin pengelolaan hutan dan lahan,” imbuh Hana.
Selain itu Hana juga mengapresiasi terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 tahun 2021 tentang Perhutanan Sosial, sebagai perbaikan atas regulasi sebelumnya. Pasalnya, dalam regulasi baru ini telah memasukkan perspektif kesetaraan gender.
“Revisi Permen LHK terkait Perhutsos tahun 2021 sangat kami hargai, karena telah memasukkan pengarusutamaan gender di dalamnya. Sangat kami hargai,” puji Hana.
Lebih lanjut Hana menegaskan bahwa pengelolaan hutan di Indonesia akan lebih sulit jika peran kepimpinan perempuan belum hadir di dalamnya.
Menurutnya, sampai saat ini jumlah pemimpin perempuan yang terlibat dalam pengelolaan perhutanan sosial baru sebesar 5 persen. Di masa depan, ia ingin mendorong proporsinya menjadi 50 persen.
“Semoga kita bisa melihat hari ini, bahwa kepemimpinan perempuan menjadi satu keniscayaan. Dan tanpa itu, mengelola hutan dan lahan menjadi sulit sekali. Kita akan secara cepat mengganti statistik 5 pesen tersebut menjadi 50 persen,” pungkas Hana.