Tambang Nikel di Halmahera Berdampak Pada Pencemaran Air
Berita Baru, Jakarta – Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkap dampak buruk industri pertambangan nikel terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat di Halmahera. Ekspansi tambang nikel yang masif telah menimbulkan berbagai masalah serius, mulai dari pencemaran air, kehilangan ruang pangan, hingga peningkatan kasus penyakit. Dikutip dari Laporan JATAM bertajuk “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi” yang di terbitkan pada Rabu (24/7/2024).
Pada 12 Mei 2023, Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, mengunjungi PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dan menyaksikan penandatanganan komitmen kerjasama untuk penyediaan air bersih bagi masyarakat. Namun, janji tersebut tampaknya hanya sebatas gimik. IWIP justru menggunakan air tiga kali lebih banyak dibandingkan kebutuhan penduduk di seluruh Kabupaten Halmahera Tengah.
Warga Desa Lelilef mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih. Mereka terpaksa menggali sumur hingga sedalam 10 meter, namun air yang diperoleh pun rasanya asin. Sementara di Desa Kulo Jaya, warga harus menghabiskan Rp 210.000 per pekan untuk membeli air galon, sejak Sungai Kobe tercemar dan tidak lagi layak untuk diminum.
Penelitian yang dilakukan pada 2022 menunjukkan pencemaran berat di sungai-sungai wilayah Weda Tengah dan Weda Utara. Hasil uji mutu air menunjukkan adanya kandungan logam berat seperti kadmium, seng, besi, dan tembaga yang beracun bagi manusia dan organisme air. Kandungan oksigen terlarut (DO) di tiga sungai utama hanya mencapai 4 mg/L, di bawah ambang batas minimal 6 mg/L untuk air baku minum, menandakan ekosistem sungai yang tidak sehat.
Pada tahun 2024, JATAM kembali menguji sampel air di Sungai Sagea-Bokimaruru dan Sungai Kobe, menemukan pencemaran yang membuat air tidak layak konsumsi. Hasilnya, kadar platina-kobalt (Pt.Co) di Sungai Bokimaruru mencapai 74,72 Pt.Co, jauh melampaui batas baku mutu 15 Pt.Co untuk air baku minum. Kandungan nikel yang tinggi dalam air juga mengindikasikan pencemaran serius akibat aktivitas pertambangan, yang berpotensi membahayakan kesehatan manusia dan organisme air.
Selain pencemaran air, JATAM menjelaskan di wilayah Transmigran Kobe, mayoritas warga yang sebelumnya mengandalkan pertanian kini harus beralih profesi karena lahan mereka telah diambil alih oleh perusahaan tambang. Lahan pertanian yang dulu subur sekarang tergantikan oleh proyek pembangunan infrastruktur. Warga terpaksa menjadi kuli bangunan, buruh tambang, atau bahkan mengkaveling lahan.
Sebagian besar bahan pangan yang dikonsumsi warga Transmigran Kobe kini disuplai dari wilayah Transmigran Wairoro, Weda Selatan. Kondisi ini menunjukkan ketergantungan yang meningkat pada sumber pangan eksternal, menghilangkan kemandirian pangan yang sebelumnya dimiliki warga.
Tidak hanya pertanian, sektor perikanan juga terdampak berat oleh aktivitas industri. Di Desa Lelilef, mayoritas warga yang bekerja sebagai nelayan kini kehilangan wilayah tangkap mereka. Mereka harus melaut lebih jauh dengan biaya yang lebih besar untuk mendapatkan ikan. Aktivitas pertambangan dan pengolahan nikel di Teluk Weda yang dikelola oleh IWIP telah merusak habitat ikan, mengurangi hasil tangkapan nelayan.
Sebelum adanya operasi tambang yang masif, Teluk Weda dikenal sebagai surga bagi berbagai jenis ikan. Dalam sekali melempar jaring, nelayan bisa mendapatkan 10-50 kilogram ikan, dengan pendapatan sekitar Rp 500.000 per hari. Namun, saat ini, hasil tangkapan menurun drastis menjadi hanya 2-10 ikan, menyebabkan pendapatan nelayan menurun signifikan.
Laporan ini menunjukkan penurunan hasil tangkapan ikan nelayan di Teluk Weda dari tahun 2018 hingga 2024. Pada tahun 2018, nelayan rata-rata memperoleh 40 kilogram ikan per hari. Namun, pada tahun 2024, jumlah tersebut menurun drastis menjadi hanya 6 kilogram per hari. Penurunan ini berbanding lurus dengan peningkatan aktivitas tambang di wilayah tersebut, yang mengindikasikan korelasi langsung antara operasi industri dan degradasi ekosistem laut.
Selain itu, Industri pengolahan nikel yang dikelola oleh PT. Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) telah menyebabkan peningkatan kasus penyakit di wilayah sekitar. Puskesmas Lelilef, yang melayani beberapa desa termasuk Desa Kobe, Desa Kulo Jaya, dan Desa Lelilef Sawai, mencatat peningkatan signifikan pada kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Pada tahun 2020, tercatat 434 kasus ISPA, namun angka ini melonjak drastis menjadi 10.579 kasus pada tahun 2023, menunjukkan peningkatan lebih dari 24 kali lipat dalam kurun waktu tiga tahun.
Peningkatan kasus ISPA ini tidak terlepas dari kegiatan ekstraksi, konsumsi, dan pembakaran batubara oleh perusahaan. Pembongkaran dan pembakaran batubara untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di IWIP menghasilkan emisi yang merusak kualitas udara, berkontribusi terhadap meningkatnya masalah kesehatan pernapasan di kalangan warga.
Laporan ini menunjukkan lonjakan prevalensi ISPA dari tahun 2020 hingga 2023. Pada awal periode, kasus ISPA terpantau stabil namun mulai mengalami kenaikan signifikan pada tahun 2021 seiring dengan peningkatan aktivitas industri di wilayah tersebut. Lonjakan terbesar terjadi pada tahun 2023, mencerminkan dampak akumulatif dari polusi udara yang dihasilkan oleh industri nikel.
JATAM menegaskan perlunya tindakan segera untuk mengatasi dampak buruk industri nikel terhadap derita warga dan lingkungan akibat pencemaran industri nikel di halmahera. Mereka menyerukan agar pemerintah dan perusahaan bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi dan mengambil langkah-langkah nyata untuk memulihkan kondisi lingkungan serta melindungi kesehatan warga.