Tak Ingin Politisasi Dewan HAM, Kemlu RI Tolak Debat dengan AS Terkait Xinjiang
Berita Baru, Jakarta – Kementerian Luar Negeri RI menolak usulan Amerika Serikat (AS) untuk menggelar debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dalam jumpa pers secara virtual Jumat (7/10/2022), Direktur HAM dan Kemanusiaan Kemlu RI Achsanul Habib menerangkan bahwa RI tak ingin terjadi politisasi Dewan HAM yang digunakan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti rivalitas politik AS versus China.
Keputusan Kemlu RI itu paling tidak menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan negara moderat serta terukur sebagai bentuk politik bebas aktif.
Seminar Isu Xinjiang
Menyusul keputusan tersebut, Sino-Nusantara Institute bekerja sama dengan Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) menyelenggarakan seminar nasional dengan tema “Politisasi Xinjiang: Kasus Propaganda Hitam Amerika di Negara-negara Muslim dalam Menekan China” pada hari Jumat, 7 Oktober 2022.
Seminar yang berlokasi di Padepokan Aswaja, Jalan Tarumanegara Ciputat Timur, Tangerang Selatan itu menghadirkan para pakar dan pembicara dari kalangan akademisi, dan diikuti peserta dari beragam kalangan.
Direktur Indonesia Muslim Crisis Centre (IMCC) Robi Sugara dalam pernyataannya menyebut bahwa China dewasa ini menjadi target serangan teror.
“(Termasuk) ancaman kekerasan dan teror di Indonesia terhadap yang berkaitan dengan China dipengaruhi oleh isu-isu kesenjangan sosial ekonomi, kasus penistaan agama Ahok, investasi China dan komunis, politisasi Xinjiang dan konspirasi Corona,” bebernya.
“Dalam konteks Xinjiang, mereka merekayasa muslim Uighur di China seakan-akan didzolimi oleh pemerintah China. Selanjutnya, para teroris menarget China sebagai serangan teroris,” Robi menambahkan.
Pada seminar Robi menekankan dan meminta masyarakat muslim Indonesia tidak terlibat proxy war.
“Sebenarnya (ini adalah_red) ketegangan antara dua negara super power. China yang sangat baik dari segi perekonomiannya kemudian AS status quo yang berkuasa di dunia, semakin berkuasa. Ini poin penting dari seminar hari ini yang selanjutnya bisa kita diskusikan,” tutup Robi.
Akademisi Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mutiara Dewi menyebut isu Xinjiang cukup mengundang perhatian negara-negara tetangga. Mulanya Xinjiang merupakat isu politik domestik dan bagian dari negara-negara di sebalah Barat China.
“Kondisi Xinjiang telah dianggap
sebagai isu strategis internasional atau setidaknya regional. Jadi, awal internasionalisasi isu Xinjiang adalah sebagai isu keamanan perbatasan,” paparnya.
Mutiara menguraikan, relasi pemerintah China cukup sensitif tetapi dalam perkembangannya, pemerintah mengembangkan berbagai aturan untuk pemerintah lokal termasuk di dalamnya kebebasan beragama.
“Nah, konteks ini memicu perkembangan kelompok sparatis Uighur yang dalam melakukan gerakan politiknya berjejaring dengan aktor-aktor eksternal dari Xinjiang termasuk gerakan teror yang meresahkan politik negara-negara tetangga,” jelas dosen muda itu.
Menyorot kasus Xinjiang, pengamat politik Internasional yang juga Direktur Sino-Nusantara Institute, Ahmad Syaifudin Zuhri, dalam makalahnya menyebut ada 47 negara anggota PBB diantaranya yang menyetujui dilakukannya debat terkait perilaku China terhadap muslim Uighur berjumlah 17 negara.
“Sedangkan yang menolak, pada dasarnya bukan negara Barat berjumlah 19 negara. Kemudian, 11 negara lainnya menyatakan abstain,” ujar kandidat Ph.D dari Central China Normal University yang juga pernah tinggal di China sejak 2011 hingga 2020 lalu.
Dalam materinya, Zuhri juga memetakan kemungkinan yang menjadi sumber konflik antara China dengan Amerika Serikat.
Beberapa topik yang kemungkinan menjadi pemicunya antara lain terkait isu demokrasi dan teritori/wilayah, persoalan perang dagang AS-China, problem keamanan di Laut China Selatan, hingga teknologi.
Sementara itu, Novi Basuki lebih berbicara pada persoalan akar konflik di Xinjiang. Penulis buku Islam di China itu menyebut isu Uighur serta campur tangan Barat di Xinjiang sering muncul di permukaan akibat adanya benturan komunisme dengan Islam Uighur.
Novi dalam pemaparannya berusaha membedah cikal bakal penduduk asli Xinjiang. Dikatakan, Inggris dan Rusia menyokong Ya’qub Beg untuk mendirikan negara di Xinjiang Selatan.
“Pendirian negara pada saat itu di era dinasti Qing pada kisaran 1865-1878. Saat dinasti Qing mulai melemah,” paparnya.
Novi yang juga pernah menyelesaikannya studi di Tiongkok menjelaskan secara detil terkait sosio-politik yang terjadi pada waktu itu. Sebagai penutup materinya, ia mengungkapkan bahwa Amerika berupaya untuk memainkan kartu pada isu Uighur di Xinjiang.
“China yang komunis saat ini sedang menguat, maka Amerika kemudian memainkan kartu Uighur untuk membendung powershift,” tutupnya.
Seminar yang dikonsep hybrid offline dan online itu diikuti 400 lebih peserta. Sesi diskusi menambah suasana makin meriah, terutama antusias peserta yang terdiri atas mahasiswa, akademisi hingga pemerhati masalah Xinjiang.
Adapun seminar itu dimulai pukul 13.30 wib dan berakhir pada pukul 16.30 wib. (Dk)