Swadidik Metode Cermin; Belajar Kebijaksanaa dari Yesus
Swadidik Metode Cermin; Belajar Kebijaksanaa dari Yesus
(Oleh, Lev Widodo)
Yesus, yang disebut sebagai Isa oleh umat Islam, adalah pribadi berbudi pekerti amat luhur. Dia adalah pelita yang menerangi kegelapan zaman. Yesus menjadi teladan keluhuran budi dan mengajari manusia untuk berluhur budi. Dia mengajar dengan perbuatan dan ucapan. Pendidikan budi pekerti yang diterapkannya tidaklah semata-mata verbal dan kognitif sebagaimana pendidikan budi pekerti yang lazim kita saksikan saat ini.
Menurut Yesus, dalam fungsinya sebagai individu, manusia seharusnya menyambung tali kasih yang putus, memaafkan musuhnya, mengampuni pendosa, dan membangun persaudaraan sekemanusiaan. Kalau pipi kirimu ditampar, berikanlah pipi kananmu, begitu pula sebaliknya. Demikian pesan Yesus kepada murid dan pengikutnya, sebuah pesan yang sudah sangat familiar di telinga kita.
Yesus pun mendidik mereka untuk senantiasa berperasaan damai dan berpikir positif. Ketika sedang berjalan bersama murid-muridnya, Yesus berjumpa dengan bangkai anjing. Karena murid-muridnya sibuk mengomentari bau tak sedap yang meruap dari bangkai tersebut, Yesus berkata, “Lihatlah putihnya gigi bangkai anjing itu”.
Sebagaimana pandangan matanya, tutur kata Yesus pun teduh dan menyejukkan. Agar tidak melukai hati orang lain, dia sering berbicara dengan pasemon atau perumpamaan. Kalau tak salah, ucapannya yang paling kasar diungkapkannya kepada seekor babi yang tiba-tiba mendekatinya. “Pergilah dari sini dengan bahagia,” ujar Yesus.
Sekelumit keterangan di atas menggambarkan betapa mengagumkannya budi pekerti Yesus. Karena budi pekertinya yang luhur itu, Yesus pernah ditanya, “Siapa yang mendidik Anda?”. Dia menjawab, “Tidak ada seorang pun yang mendidik saya. Saya mengamati kebodohan orang bodoh. Lantas, saya menjauhi kebodohan tersebut.”
Dalam jawaban itu, tersirat informasi bahwa dalam hal budi pekerti Yesus tidak punya seorang guru pun. Untuk meningkatkan kualitas budi pekertinya, dia mendidik diri sendiri. Hal ini mengingatkan kita pada setengah bagian dari prinsip pendidikan budi pekerti yang diformulasikan Sosrokartono. Tokoh kejawen yang sangat dipengaruhi al-Ghazali tersebut menyatakan bahwa murid gurune pribadi. Terjemahnya, guru seorang murid dalam hal budi pekerti adalah pribadinya sendiri.
Dengan menerapkan metode cermin, si murid mengamati kebodohan orang lain dalam rangka menjauhi dan meninggalkan perilaku bodoh tersebut. Metode yang dijalankan Yesus dalam pendidikan budi pekerti untuk dirinya sendiri ini disebut Sosrokartono sebagai sinau moco mawi koco. Terjemahnya, belajar membaca diri dengan (ber)cermin pada orang lain. Dalam tasawuf, salah satu disiplin keilmuan klasik Islam, metode cermin tercakup dalam konsep muraqabah atau mawas diri.
Kemawasdirian mengharuskan kita untuk pada akhirnya selalu menengok ke dalam. Memandang keluar tidak salah jika hal itu dilakukan dalam rangka menengok ke dalam. Proses seperti inilah yang berlangsung saat kita menerapkan metode cermin. Yang tidak tepat, merugikan, dan membahayakan adalah memandang keluar untuk menyalahkan orang lain dan menilai lebih diri sendiri. Dikatakan ‘merugikan’ karena dengan bersikap demikian budi pekerti kita bukan menjadi lebih luhur. Sebaliknya, tingkat moralitas kita semakin merosot.
Yesus tidak mengalami kemorosotan moral seperti itu. Sebab, pertama, dia memandang keluar untuk menengok ke dalam. Dia menjadikan orang lain sebagai cermin. Kedua, dia tampak senantiasa berupaya untuk berpikir positif atau berprasangka baik kepada orang lain. Dia mencari kebaikan dalam keburukan. Matanya menangkap secercah cahaya di tengah kelamnya kegelapan. Saya kira, inilah dua sikap mental yang melandasi keberhasilan Yesus dalam mendidik dirinya sendiri dengan metode cermin.
Dan saat ini, metode cermin tersebut amat relevan digunakan dalam pendidikan budi pekerti. Bukan hanya relevan, tetapi juga diperlukan. Saat ini, lingkungan sosial sekitar kita tak lagi menyediakan teladan moral dan guru akhlak secara memadai. Pemimpin berlaku korup. Guru bertindak curang dalam rangka memburu tunjangan profesi. Bahkan, agamawan terjun ke dalam gelanggang politik praktis sekadar untuk merealisasikan kepentingan pribadi.
Dalam kondisi demikian, kita tak bisa terus-menerus mengutuk kenyataan dan menyalahkan orang lain. Sebab, sekali lagi dikatakan, hal itu justru merugikan dan membahayakan diri sendiri. Setelah memandang keluar dengan kritis dan geram, kita perlu menengok ke dalam dengan kepala dingin dan dada lapang.
Pemimpin yang korup itu adalah cermin bagiku. Guru yang curang itu adalah cermin bagiku. Agamawan yang menuruti syahwat politik itu juga cermin bagiku. Bila mereka bersikap sebodoh itu, apakah aku rela jatuh di lubang yang sama karena mengikuti kebodohan mereka, ataukah aku menyelematkan diri dari bahaya dengan menjauhi kebodohan mereka?
Kalau Anda mengambil pilihan pertama, bersiaplah untuk hidup dalam kehinaan karena budi pekerti Anda pasti ikut ambruk, sebagaimana ambruknya budi pekerti mereka. Kalau mengambil pilihan kedua, artinya Anda menempuh jalan yang pernah ditempuh Yesus, suatu jalan yang sebenarnya pernah pula ditempuh pribadi luhur lainnya seperti Buddha dan Muhammad. Mereka bagaikan bunga lotus yang mekar dengan indahnya pada permukaan telaga berlumpur. [Tuban Jogja]