Surat dari Timur Tengah: Pengakuan Saksi Mata terkait Gejolak di Suriah
Berita Baru, Damaskus – Setelah menghabiskan hampir 14 tahun meliput konflik Suriah, saya pikir saya terbiasa dengan sifat perangnya yang tidak menentu, hingga peristiwa pada 27 November menghadirkan pengingat yang jelas bahwa kenormalan di Suriah masih sulit dipahami.
Sebagaimana dilansir dari laman Xinhua News pada Jumat (20/12/2024), pagi itu, aliansi militan pimpinan kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) melancarkan serangan besar-besaran di daerah pedesaan di Aleppo, Suriah utara. Awalnya, hal ini tampak seperti gejolak lain dalam konflik yang panjang dan pahit, satu dari banyak konflik yang telah saya liput selama bertahun-tahun.
Namun, pada 29 November malam, terlihat jelas bahwa ini bukanlah operasi militer biasa. Aliansi militan itu menyerbu Kota Aleppo, tidak hanya merebut kembali benteng-benteng pertahanan mereka sebelumnya, tetapi juga area-area yang belum pernah mereka kuasai. Dalam sekejap, garis depan pertempuran memanjang ratusan kilometer ke arah selatan, seolah-olah konflik berlangsung kembali di tahun-tahun awalnya.
Peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung itu menimbulkan perasaan déjà vu. Pada 2013 dan 2014, selama dua tahun pertama perang saudara tersebut, saya memberanikan diri ke garis depan pertempuran, berjalan melewati pecahan kaca dan tulangan baja yang bengkok dengan hati-hati. Saya menyaksikan lingkungan permukiman telah menjadi puing-puing, menghirup aroma yang menyengat dari logam yang hangus terbakar, darah, dan debu, serta melihat rumah-rumah yang luluh lantak.
Seiring berjalannya waktu, saya belajar membedakan berbagai kaliber senjata hanya dari suaranya saja. Pengalaman ini meninggalkan luka yang mendalam, merampas ketenangan saya, dan menanamkan benih ketakutan, khawatir bahwa horor di masa lalu mungkin akan kembali.
Gerak maju HTS dan sekutunya pada akhir November mengejutkan banyak orang. Setelah rehat sejenak menyusul jatuhnya Aleppo, kelompok militan itu bergerak ke arah selatan, merebut wilayah dengan kecepatan menakjubkan. Benteng-benteng pertahanan pemerintah jatuh satu demi satu, pertama Hama, lalu Homs, dan dalam hitungan hari, mereka telah berada di pintu gerbang Damaskus.
Saat rumor beredar bahwa kelompok militan itu berada lebih dekat dari perkiraan orang-orang, saya sedang berada di luar bersama teman-teman di Damaskus, berupaya mempertahankan kenormalan. Namun, di dalam hati, saya merasa hancur. Pikiran saya mengawang ke orang tua saya, rumah saya, dan jalan-jalan dan toko yang saya kenal. Jaminan pemerintah perihal “benteng yang kokoh” di sekitar ibu kota Suriah tersebut tidak banyak membantu meredakan kegelisahan saya.
Pada 8 Desember dini hari, ketenangan di kota itu diguncang oleh suara tembakan. Dalam hitungan jam, Damaskus diliputi rumor, penjarahan, dan kekacauan. Meski rasa cemas yang memuncak mencengkeram diri saya, saya terus melanjutkan tugas sebagai seorang reporter. Mengintip dari jendela, saya melihat para pria bersenjata yang tidak saya kenal, truk-truk militer yang diabaikan, dan senapan-senapan dan seragam yang dibuang di sepanjang jalan. Kebingungan melanda diri saya.
Tubuh saya memberontak, saya terbangun keesokan harinya dengan kondisi tidak bisa menelan dan langsung dilarikan ke rumah sakit. Di luar, suasana jalanan terlihat tidak masuk akal, yang dipenuhi kelongsong-kelongsong peluru, dan dijaga oleh para pria bersenjata yang gugup. Namun, di dalam rumah sakit, dokter mengobrol sambil menikmati penganan manis, dan bahkan meminta saya untuk memotret mereka, seolah-olah berpegang teguh pada rutinitas di tengah kekacauan.
Dalam hitungan hari, secara mengejutkan, Damaskus mulai menemukan kembali ritmenya, Pasar-pasar dibuka kembali, orang-orang bepergian, dan kenormalan, jika dapat disebut demikian, mulai terlihat dengan bentuk yang baru.
Rumah sakit kembali beroperasi dengan normal, dan barang-barang esensial kembali memenuhi rak-rak, meski dengan harga yang lebih tinggi. Bahan bakar dan roti, yang tadinya dijatah, mulai tersedia kembali, kendati harganya lebih mahal. Kami tetap berada dalam tahap ketidakpastian, terperangkap di antara rasa lega karena masa tenang yang rapuh dan kekhawatiran terkait apa yang akan terjadi esok.
Orang-orang berupaya menemukan pijakan mereka di lanskap yang berubah tersebut, menginjak kelongsong peluru, menghirup udara dingin di bulan Desember, dan berusaha mendapatkan kembali rasa kenormalan. Ingatan terhadap rasa takut masih ada, begitu juga dengan tekad yang kuat untuk beradaptasi dan melangkah maju.
Di Suriah, kestabilan terus-menerus berada di ujung tanduk. Kami melangkah maju, bukan karena kami menaklukkan rasa takut, melainkan karena kami tidak memiliki pilihan lain. Namun, di tengah masa tenang yang rapuh itu, deru jet-jet tempur Israel yang menargetkan situs militer di seantero negara tersebut menjadi pengingat yang konstan bahwa perdamaian masih menjadi mimpi yang sukar dipahami.