SPI Berkomitmen Menguatkan Identitas Keindonesiaan
Berita Baru, Jakarta — Sekolah Politik Indonesia (SPI) berkomitmen untuk berkontribusi menguatkan identitas ke-Indonesia-an. Dengan itu, SPI membuka platform pendidikan politik kebangsaan, mulai dari seminar, pelatihan hingga short course. Dalam aktivitasnya, SPI mengedepankan keterlibatan banyak kelompok dari berbagai latar belakang.
Menanggapi isu mutakhir, di tengah pandemi, Jumat (5/6), SPI menggelar webinar bertema “Pancasila di Era Disrupsi”. Diskusi tersebut di dilakukan dalam rangka soft launching SPI dengan dua pembicara utama, Aria Bima (politisi) dan Soni Sumarsono (birokrat) secara online, dihadiri 50 peserta.
Dalam paparannya, Aria Bima menyampaikan, sebenarnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat kita terlihat sangat jelas di masa kita menjalani PSBB. Menurutnya, PSBB adalah pilihan yang tepat, dibanding lockdown. Masyarakat masih bisa saling membantu dan bergotong-royong. Itu yang membedakan lockdown di negara-negara liberal atau sosialis.
Di sisi lain, Aria Bima menyadari, bahwa banyak nilai-nilai Pancasila yang terkoyak di era disrupsi teknologi.
“Disrupsi akibat teknologi komunikasi semakin mengoyak nilai-nilai Pancasila. Di Indonesia, polaritas ideologi terbangun karena adanya narasi-narasi kebohongan, terlebih yang terjadi saat kampanye pilkada maupun pilpres” ujar Aria Bima.
Soni Sumarsono, mantan Plt. Gubernur di 3 provinsi selaku birokrat melihat apa yang dilakukan pemerintah hingga saat ini terus berupaya membangun nilai-nilai Pancasila lewat berbagai pendekatan kebijakan. Salah satunya ia mencontohkan perbaikan sistem pelayanan. Serta pola komunikasi pembangunan dari yang bersifat top down ke bottom up.
Namun ia juga berpandangan, kerja reformasi birokrasi itu masih memerlukan upaya terus menerus. Menurutnya, dari kacamata birokrat perlu dilakukan berbagai hal untuk penguatan fondasi Pancasila, seperti dalam bentuk pembinaan SDM birokrasi hingga dalam bentuk reformasi birokrasi.
Sementara Direktur SPI Hendrasmo mengatakan, lembaga ini akan menjadi tempat persemaian politisi muda dari latar belakang partai maupun kelompok, untuk penguatan ke-Indonesiaan. Di masa depan tantangan ancaman segregasi politik akan mungkin sekali terjadi, sehingga mulai dari saat ini perlu dibangun imunitas atau ketahanan terhadap ancaman itu.
“Lihat Amerika, yang menjadi sokoguru demokrasi, sudah kuat secara kelembaagaannya pun, bisa tergoncang karena faktor leadership. Amerika tergoncang karena memiliki presiden yang tidak memiliki ‘sense’ yg kuat terhadap demokrasi maupun rasa kemanusiaan,” ungkapnya.