Soal Kasus Novia Widyasari, Anggota DPR: Polres dan Lembaga PPA Harus Lebih Sigap
Berita Baru, Nasional – Kasus kekerasan dalam pacaran yang dialami Novia Widyasari kembali menjadi kritik bagi institusi kepolisian. Pasalnya, kepolisian kerap disoroti karena belum memiliki perspektif korban dalam menanggapi laporan kasus kekerasan seksual yang mayoritas korbannya adalah perempuan.
Dalam kasus ini, Novia telah melaporkan kasusnya kepada Polres maupun layanan aduan Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), namun kedua pihak itu belum merespon dan memberikan jalan keluar. Lambatnya penanganan kasus Novia dinilai cukup mengecewakan.
“Saya sangat kecewa terhadap pelayanan atau tanggapan Polres dan PPA tempat korban melapor. Seharusnya segera direspon dan diberi pendampingan, bukannya dibiarkan berlarut seperti ini sehingga psikis korban menjadi semakin terpukul,” ungkap anggota DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Ratna Juwita Sari saat dihubungi Beritabaru.co.
Kasus Novia harus jadi pelajaran buat Intistusi negara
Hal lain yang masih menjadi tantangan adalah kasus kekerasan dalam hubungan privat dianggap ranah yang seolah sulit dimasuki penegak hukum. Ini menjadikan penanganan atas kasus tersebut jauh lebih lamban dan sulit. Padahal, bukan tidak mungkin adanya kekerasan dalam hubungan privat yang terjadi tanpa konsen.
“Terkadang institusi hukum kita masih menganggap remeh perbuatan perkosaan yang terjadi pada ranah hubungan ‘privat’ baik resmi maupun tidak resmi, contohnya perkosaan di dalam hubungan suami-istri atau hubungan berpacaran. Karena mereka menganggap saat ada hubungan privat, perkosaan ini tidak ada, lebih ke hubungan intim atas dasar suka sama suka,” ujar Ratna.
Sesungguhnya, tidak perlu terlampau repot untuk membangun perspektif korban dalam tubuh kepolisian. Menurut Ratna, Polri cukup kembali pada pedoman hidup yang telah menjadi acuan sejak dulu. “Saya yakin kalau Tribrata dan Catur Prasetya itu telah terikat kuat dalam kerja setiap polisi yang ada di Indonesia, penanganan korban akan jauh lebih baik,” tandasnya.
Ratna menambahkan, hukuman 5 tahun penjara terhadap Randy Bagus belum terhitung adil. “Kesalahan pelaku ini berlipat lho, menggugurkan kandungan korban, memperkosa, mencoreng nama baik institusi, meneror korban secara psikis, abai atau lari dari tanggung jawab sehingga korban memutuskan untuk mengakhiri hidupnya,” lanjutnya.
Ia menegaskan, kasus yang dialami Novia harus menjadi pelajaran berharga untuk institusi penegak hukum maupun masyarakat sebagai instrumen sosial. Hukum perlu ditegakkan sesuai undang-undang dan tugas harus dilakukan secara profesional. Tapi perlu dipertanyakan, mau berapa kasus lagi sampai penegak hukum dan pemerintah memfasilitasi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan?
Ikuti perkembangan berita terkini melalui Instagram Beritabaru.co.