Setahun Tragedi Bangkal, Hukuman Ringan Aparat Dinilai Gagal Beri Keadilan
Berita Baru, Kalimantan Tengah – Tepat satu tahun lalu, pada 7 Oktober 2023, tragedi kekerasan aparat kepolisian yang menewaskan seorang warga adat di Desa Bangkal, Seruyan, Kalimantan Tengah, masih menyisakan luka mendalam bagi keluarga korban dan masyarakat adat. Tindakan brutal aparat saat mengamankan demonstrasi warga yang memperjuangkan hak atas tanah adat berujung pada kematian satu orang dan luka berat bagi yang lainnya.
Menurut laporan dari Tim Advokasi Solidaritas Untuk Masyarakat Adat Bangkal, penggunaan kekuatan berlebihan oleh aparat kepolisian, termasuk senjata api lengkap dengan peluru tajam, menjadi pemicu jatuhnya korban. “Kejadian ini mengonfirmasi peran polisi sebagai alat pelindung korporasi dalam konflik agraria yang terus berulang,” tegas Tim Advokasi Solidaritas dalam siaran pers yang diterbitkan oleh KontraS pada Kamis (10/10/2024).
Pada awal 2024, Polda Kalimantan Tengah menetapkan seorang perwira Brimob, Iptu Anang Tri Widodo (ATW), sebagai tersangka dalam kasus ini. Namun, putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya yang menjatuhkan vonis ringan berupa 10 bulan penjara kepada Iptu ATW pada Juni 2024 dinilai mengecewakan. “Putusan ini jelas mencerminkan kegagalan penegakan hukum terhadap pelanggaran HAM yang serius oleh anggota kepolisian,” ujar Tim Advokasi.
Dalam persidangan, terungkap bahwa tindakan Iptu ATW berdasarkan perintah langsung dari pimpinannya, Ampi Mesias Von Bulow, yang saat kejadian menjabat sebagai Kapolres Seruyan. Ampi mengakui adanya instruksi untuk “bidik kepalanya,” namun perintah tersebut tidak ditindaklanjuti oleh penyidik untuk memproses aktor intelektual di balik insiden ini.
Selain itu, Tim Advokasi juga menyoroti kegagalan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang tidak memperjuangkan hak korban dengan maksimal. “Tim JPU bahkan mengabaikan surat permohonan ganti rugi yang diajukan oleh keluarga korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),” tambah mereka.
Atas tragedi ini, Tim Advokasi Solidaritas mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kabareskrim mengusut lebih dalam aktor intelektual yang terlibat, serta meminta pemecatan tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Iptu ATW. Mereka juga mendesak Komisi Kejaksaan dan Jaksa Agung Muda Pengawasan untuk menghukum tim JPU yang terlibat dalam penuntutan kasus ini.
“Negara telah gagal memberikan keadilan bagi korban,” kata perwakilan Tim Advokasi. Masyarakat adat dan kelompok pendukung mereka akan terus menuntut pertanggungjawaban dan keadilan yang seharusnya ditegakkan untuk menghentikan siklus kekerasan serupa di masa depan.