Sesar Cugenang, Pemicu Gempa M5.6 Cianjur
Berita Baru, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut bahwa penyebab gempa bumi M5.6 di Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November 2022, lalu adalah munculnya patahan baru yang dinamakan Sesar Cugenang.
Sesar itu baru teridentifikasi setelah gempa bumi di Cianjur. “Pemicu gempa Cianjur Magnitudo 5.6 pada 21 November 2022 lalu adalah patahan atau Sesar Cugenang. Ini adalah sesar yang baru teridentifikasi dalam survei yang dilakukan BMKG,” kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, dikutip, Sabtu (10/12).
Disebutkan, sesar Cugenang tersebut melintasi sembilan desa di dua kecamatan. Lintasan sesar tersebut mengarah ke barat laut tenggara. Sesar Cugenang memiliki panjang kurang lebih sembilan kilometer.
Sembilan desa yang dilalui oleh Sesar Cugenang, diantaranya; berada di wilayah Kecamatan Cugenang (Desa Ciherang, Desa Ciputri, Desa Cibeureum, Desa Nyalindung, Desa Mangunkerta, Desa Sarampad, Desa Cibulakan, Desa Benjot), Semenrara di Kecamatan Cianjur, yaitu di Desa Nagrak.
Sesar Cugenang Patahan Aktif
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan patahan baru ini termasuk sesar aktif. Penemuan patahan baru ini sangat berguna dalam mendukung proses rehabilitasi dan rekonstruksi berbagai bangunan yang terdampak gempa Cianjur.
Ia menyarankan untuk tidak membangun rumah warga atau fasilitas umum di jalur gempa tersebut. Karena Sesar Cugenang adalah sesar aktif, sehingga rentan kembali mengalami pergeseran atau deformasi, getaran dan kerusakan lahan, serta bangunan.
Area sepanjang patahan, lanjutnya, harus dikosongkan dari peruntukkan sebagai pemukiman, sehingga jika terjadi gempa bumi kembali di titik yang sama, tidak ada korban jiwa maupun kerugian materil.
“Poin utamanya, area lintasan Sesar Cugenang terlarang untuk bangunan tempat tinggal maupun bangunan permanen lainnya,” jelasnya.
Meski tak disarankan untuk pemukiman, Dwikora menyebut kawasan tersebut bisa dijadikan sebagai lahan terbuka atau kawasan nonstruktural. Bisa untuk lahan persawahan, dihijaukan, serapan, konservasi, atau bahkan wisata tanpa adanya hotel.
“Konsepnya ruang terbuka tanpa ada bangunan sehingga jika terjadi gempa agar tidak ada runtuhan bangunan dan korban jiwa,” ungkap Dwikorita.