Selamatkan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil di Jatim dari Ancaman Perubahan Iklim dan Eksploitasi
Berita Baru, Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur bersama masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil mendorong perubahan atas regulasi dan kebijakan serta komitmen pemerintah dalam melindungi lingkungan hidup dari ancaman perubahan iklim dan eksploitasi yang masif.
Dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritabaru.co, Direktur eksekutif WALHI Jatim, Wahyu Eka Setyawan mengatakan bahwa Jatim memiliki wilayah laut hampir 3.498 kilometer, kurang lebih terdapat 446 pulau-pulau kecil, dengan biodiversitas yang kaya.
“Merupakan rumah dari berbagai jenis terumbu karang, ikan, mangrove dan aneka biota unik lainnya. Sehingga keterancaman pulau-pulau kecil dan pesisir di Jawa Timur akan menghilangkan biodiversitas yang kaya, serta sejarah sosial budaya di wilayah tersebut,” kata Wahyu, Kamis (11/11).
Menurut Wahyu, pihaknya menyoroti beberapa faktor yang mengancam pulau-pulau kecil dan pesisir di Jatim. “Pertama, perubahan iklim yang mengakibatkan peningkatan permukaan air laut, anomali cuaca dan terancamnya biodiversitas,” ujarnya.
“Berdasarkan catatan dari Ardiansyah dkk (2017) dalam Pemodelan Genangan Kenaikan Muka Air Laut (Sea Level Rise) Menggunakan Data Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografi di Wilayah Pesisir Selat Madura mengatakan bahwa kenaikan permukaan air laut mencapai 1,2 cm per tahun,” tambahnya.
Kondisi ini, lanjutnya, akan diperparah dengan potensi rusaknya Mangrove di Madura. “Total kawasan Mangrove dalam kondisi yang baik seluas 8.794,1 ha (58,2 %) dan kawasan Mangrove dalam kondisi buruk mencapai luas 6.324,1 ha (41,8%) seperti dalam catatan Munsoni (2017) yang berjudul Pemetaan Kerusakan Mangrove di Madura dengan,” terang Wahyu,
Selain itu, persoalan terbesar lainnya adalah tata kelola ruang. Wahyu menyebut, baik di wilayah darat maupun lautan. kondisi keterancaman sangat mengkhawatirkan, karena memiliki resiko besar memperentan wilayah tersebut, termasuk resiliensi terhadap bencana, karena perpaduan bencana perubahan iklim dan rusaknya kawasan yakni memunculkan potensi kerentanan wilayah.
“Perlu diketahui, berdasarkan catatan advokasi WALHI Jawa Timur yang menghimpun dari jaringan di tapak, untuk Madura secara keseluruhan terancam oleh besarnya konsesi migas baik di darat dan laut,” jelasnya.
Selain Migas, terdapat ancaman pertambangan fosfat di Sumenep yang mengancam kawasan karst, serta lahan pertanian produktif. “Tidak hanya karst, ekspansi tambak udang di pesisir Sumenep juga menjadi faktor yang mengancam kawasan lindung pesisir, khususnya kawasan Mangrove,” terang Wahyu.
Di Selat Madura, tutur Wahyu, sekitar Bangkalan dan Surabaya terancam pertambangan pasir laut, sebab di RZWP-3K Jatim. Sementara di Bawean juga terancam pertambangan pasir laut untuk kebutuhan proyek strategis nasional, meski konsesinya sudah muncul atas nama PT. Hamparan Laut Sejahtera salah satu aktor yang turut berkonflik dengan nelayan di Kodingareng, Sulawesi Selatan.
“Artinya ancaman tata kelola ruang baik alih fungsi kawasan penting seperti karst, lalu pesisir hingga dalam laut, mempertinggi resiko kerusakan dan bencana di kawasan pesisir serta pulau-pulau kecil,” ungkapnya.
Terakhir, persoalan sosial ekonomi. Perubahan iklim memicu anomali cuaca sehingga mengacaukan kalender musim nelayan, sehingga banyak nelayan yang merasakan dampaknya terutama menurunnya hasil tangkapan serta keselamatan mereka saat melaut.
“Ini yang dialami oleh nelayan tradisional di Masalembu, Sumenep dan Bawean, Gresik.,” tutur Wahyu.
Persoalan lain yang tengah dihadapi oleh nelayan tradisional ialah maraknya kapal-kapal besar yang beroperasi menggunakan cantrang dalam melaut, memasuki zona nelayan tradisional sehingga memicu konflik.
“Pertarungan ini diakibatkan oleh dampak cantrang yang menghancurkan biodiversitas laut, seperi terumbu karang yang merupakan rumah bagi beberapa spesies terutama ikan karang, seperti kerapu,” kata Wahyu.
Keberadaan tambang di wilayah pesisir dan laut juga mengancam biodiversitas, berpotensi menghancurkan terumbu karang dan hilangnya ikan-ikan karang dan spesies lainnya. Konfisi ini paling tidak akan mendorong kerentanan sosial dan ekonomi masyarakat lokal.
“Khususnya nelayan tradisional. Memicu cultural shift atau pergeseran kultural, dari memiliki kelekatan dengan alam lalu perlahan meluntur hingga teralienasi, yang menjadi salah satu faktor cepatnnya kerusakan lingkungan,” jelas Wahyu.
“Nelayan kehilangan mata pencaharian, beralih profesi ke sektor lain, sebuah pertanda kerusakan ekologis di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,’ tukasnya.
Dari penjabaran di atas, tutur Wahyu, WALHI Jawa Timur bersama masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil merekomendasikan beberapa hal untuk mendorong perubahan atas regulasi dan kebijakan serta komitmen pemerintah.
- Mereview ulang RZWP-3K dengan mendorong penghapusan wilayah pertambangan di pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Mendorong regulasi perlindungan dan perawatan pesisir dan pulau-pulau kecil, melalui kebijakan berbasis mitigasi dan preventif perubahan iklim, serta yang mengatur tata kelola wilayah agar tidak terjadi alih fungsi kawasan.
- Mendorong regulasi perlindungan biodiversitas pesisir dan pulau-pulau kecil.
- Mendorong di setiap wilayah memiliki Rencana Tata Ruang dan Tata Wilayah yang menetapkan kawasan karst, pesisir dan pulau-pulau kecil sebagai kawasan lindung.
- Mendorong dan meminta pengakuan atas zona nelayan tradisional yang melindungi kawasan pulau-pulau kecil dari eksploitas kapal cantrang atau usaha ekonomi yang berpotensi menghancurkan biodiversitas.