Sejarah Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Berita Baru, Jakarta – Mahkamah Rakyat Luar Biasa (MPRL) bukanlah lembaga peradilan formal yang diakui oleh negara. Melainkan, MPRL merupakan mekanisme alternatif penyelesaian hukum yang digagas oleh masyarakat sipil untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat dan kejahatan serius lainnya yang tidak dapat dituntaskan melalui jalur hukum formal.
Munculnya MPRL didasari oleh kekecewaan terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak mampu memberikan keadilan bagi korban. Hal ini dikarenakan berbagai faktor, seperti:
- Keterbatasan ruang lingkup hukum formal: Hukum formal seringkali memiliki batasan dalam menjangkau dan menindak pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau.
- Intervensi politik: Proses peradilan formal terkadang diwarnai oleh intervensi politik, sehingga menghambat penuntutan aktor-aktor yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM.
- Ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum: Masyarakat sipil kerap kali memiliki rasa ketidakpercayaan terhadap aparat penegak hukum, sehingga mereka enggan untuk melaporkan kasus pelanggaran HAM.
Poin Sejarah Mahkamah Rakyat Luar Biasa
Masa Penjajahan Belanda:
- 1945: Rakyat Indonesia mendirikan Mahkamah Rakyat (MR) untuk mengadili penjahat perang Belanda. MR merupakan cikal bakal MPRL di masa depan.
Masa Orde Baru:
- 1965-1966: Pasca peristiwa G30S, terjadi pembantaian massal yang menewaskan ratusan ribu orang. Muncul tuntutan untuk mengadili para pelaku melalui MPRL, namun dibungkam oleh rezim Orde Baru.
- 1984: Kasus Tanjung Priok meletus, menewaskan ratusan demonstran. MPRL kembali digagas untuk mengadili pelaku, namun lagi-lagi ditentang oleh pemerintah.
Masa Reformasi:
- 1998: Jatuhnya rezim Orde Baru membuka ruang bagi munculnya kembali MPRL. MPRL Timor Timur dibentuk untuk mengadili pelanggaran HAM berat selama masa pendudukan Indonesia.
- 2000-an: MPRL terus diinisiasi untuk mengadili berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, seperti kasus Mei 1998, kasus Wamena, dan kasus Talangsari.
- 2024: MPRL kembali digelar untuk mengadili Presiden Joko Widodo atas berbagai dugaan pelanggaran HAM dan kejahatan serius selama masa pemerintahannya.
MPRL biasanya diselenggarakan oleh organisasi masyarakat sipil dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, seperti akademisi, aktivis, korban, dan ahli hukum. Proses persidangan MPRL mengikuti prinsip-prinsip peradilan yang adil dan transparan, dengan melibatkan hakim-hakim independen dan saksi-saksi ahli.
Meskipun MPRL tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, temuan dan rekomendasinya dapat menjadi dasar bagi advokasi dan kampanye untuk mendorong dilakukannya penyelidikan dan penuntutan yang lebih serius melalui jalur hukum formal. MPRL juga dapat memberikan kontribusi terhadap proses rekonsiliasi dan pemulihan bagi para korban.
MPRL merupakan salah satu bentuk perlawanan rakyat terhadap ketidakadilan dan impunitas. Meskipun tidak memiliki kekuatan hukum formal, MPRL dapat menjadi alat yang penting untuk mendorong akuntabilitas, memperjuangkan keadilan bagi korban, dan mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa depan.