Rusia Kecam Keputusan Berlin atas Penangguhan Sertifikasi Pipa Nord Stream 2
Berita Baru, Internasional – Berlin mengumumkan bahwa sertifikasi pipa Nord Stream 2 akan dihentikan karena keputusan Rusia untuk mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk (DPR dan LPR) serta peluncuran operasi militernya di Ukraina.
Seperti dilansir dari Sputnik News, Kementerian Luar Negeri Rusia mengecam tindakan tersebut dengan mengatakan bahwa itu adalah “puncak logis dari doktrin keunggulan politik di atas ekonomi”.
“Sekarang terlihat jelas, pihak berwenang Jerman tidak konsisten dan menyerah pada godaan di bawah tekanan (eksternal) untuk menggunakan proyek tersebut sebagai pengaruh terhadap Rusia. Dengan demikian mereka menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memisahkan politik dan ekonomi”, kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Maria Zakharova.
Zakhrova, lebih lanjut mengecam Berlin yang memutuskan untuk berbalik arah dari fakta tentang tidak adanya ancaman konflik Rusia-Ukraina terhadap keamanan energi Nord Stream 2. Zakharova memperingatkan bahwa konsekuensi dari tindakanyang diambil Berlin adalah harga gas di Eropa yang akan meroket, yang sebetulnya dapat dicegah oleh keberadaan Nord Stream 2.
Zakhrova juga menekankan bahwa investor di Nord Stream 2 memiliki hak untuk menuntut pemerintah Jerman atas keputusannya dalam menangguhkan sertifikasi pipa, dan menuntut kompensasi. Dia mencatat bahwa “tindakan tidak sah” ini merusak reputasi Berlin sebagai mitra bisnis internasional yang dapat diandalkan.
Nord Stream 2 dibangun oleh Gazprom bekerja sama dengan beberapa raksasa energi Eropa – Royal Dutch Shell, OMV, Engie, Uniper, dan Wintershall. Pipa tersebut memiliki kapasitas untuk memompa hingga 55 juta meter kubik gas dari Rusia ke Eropa. Pembangunannya selesai tahun lalu, tetapi pemerintah Jerman menahan sertifikasinya.
Berlin kemudian mengumumkan bahwa mereka telah membekukan proyek karena keputusan Rusia untuk mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Lugansk (DPR dan LPR), dan meluncurkan operasi khusus di Ukraina, yang oleh negara-negara barat disebut sebagai “invasi”. Rusia menolak gagasan bahwa itu adalah invasi dan bersikeras bahwa operasi itu diperlukan untuk mengakhiri “genosida” yang telah dilakukan Kiev di Donbass selama delapan tahun dengan persetujuan Barat. Presiden Vladimir Putin menggambarkan tujuan operasi itu sebagai demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina.