Riyadi Alberto, Perpusnas, dan Living Library
Berita Baru, Tokoh – Apa pun harus disikapi secara kritis. Menerima suatu informasi yang sedang populer dengan tanpa mempertanyakan kebenarannya—apalagi menyangkut citra bangsa—tentu merupakan sesuatu yang kontraproduktif.
Untuk kasus temuan rendahnya tingkat baca di Indonesia yang sempat ramai beberapa tahun lalu misalnya. Pustakawan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) Achmad Riyadi Alberto berkali-kali menegaskan bahwa pihaknya menolak untuk percaya dan menerimanya.
Hal ini ia sampaikan dalam gelar wicara Bercerita ke-97 Beritabaru.co, Selasa (17/5), dengan tema Tantangan Perbukuan dan Literasi Nasional.
Menurut Alberto, pernyataan bahwa tingkat baca di Indonesia rendah harus dipertanyakan kebenarannya.
Sebab, sejauh pelacakan Alberto, dokumen asli yang menyatakan temuan tersebut tidak ada. Tanpa adanya dokumen asli, siapa pun tidak bisa dan perlu menganggap temuan itu sebagai kenyataan.
Pasalnya, seseorang tidak bisa melakukan verifikasi dan falsifikasi atas metode dan instrumen yang digunakan dalam penelitian.
“pada 2019, saya ditugaskan mengecek ke situs web UNESCO langsung untuk mencari dokumen asli terkait rendahnya tingkat baca di Indonesia. Di situ, saya tidak menemukan apa pun kecuali rujukan berita dan jurnal,” kata Alberto.
“Pun, ketika jurnal itu saya lacak lagi, di situ diskusi tentang rendahnya minat baca di Indonesia menggantung tanpa referensi,” ia menambahkan.
Tradisi lisan dan keunikan setiap daerah
Di samping itu, Alberto melanjutkan, menyejajarkan dan menyamakan kualitas literasi suatu bangsa dengan bangsa lainnya adalah langkah yang kurang tepat.
Kenyataan bahwa setiap bangsa memiliki akar budaya literasinya masing-masing merupakan alasan mengapa demikian.
Alberto menjelaskan, akar budaya literasi di Indonesia adalah lisan atau oral. Ini berbeda dengan kebanyakan negara di Eropa yang lebih pada tradisi tulis.
Akibatnya, ketika ada riset meneliti tingkat baca di Indonesia, maka instrumen dan metode yang digunakan harus menyesuaikan.
Dalam arti, itu tidak bisa disamakan dengan mengkaji literasi masyarakat dengan budaya tulis.
“Tradisi di kita kan lisan ya, jadi tidak bisa disamakan dengan yang tradisinya tulis. Pun, yang perlu dicatat di sini, antara tradisi lisan dan tulis, keduanya tidak bisa dianggap lebih bermutu dibanding lainnya!” tegasnya.
Selain tidak sama secara tradisi, harus diakui akses setiap daerah terhadap buku di Indonesia dan tingkat pendidikan berbeda-beda.
Bagi Alberto, ini berdampak sama sekali pada tingkat literasi. Dengan ungkapan lain, untuk menilai tingkat literasi, ada banyak hal yang harus diperhatikan.
“Ya soal akses itu tadi. Jika akses tidak ada, maka apa yang harus dibaca. Soal pendidikan juga. Kita tahu, tingkat pendidikan di Indonesia kan belum merata, sedangkan membaca buku itu kan berkelindan dengan pendidikan,” ungkap Alberto.
Memahami ulang “literasi”
Yang tidak kalah penting untuk diulas adalah diskusi Alberto terkait makna literasi.
Ia menyampaikan, literasi tidak terbatas pada kegiatan membaca dan menulis. Untuk menentukan kualitas literasi suatu bangsa, ihwal ini penting untuk diperjelas terlebih dulu.
Jika tidak, maka yang dipertaruhkan adalah penyimpulan yang tidak sesuai dengan realitas dan ini sama dengan melukai aktivitas penelitiana itu sendiri.
Literasi, lanjut Alberto, mengacu pada sesuatu yang dengannya seseorang bisa menalar realitas, melahirkan gagasan, mengambil sikap, dan memiliki kepekaan sosial.
“Literasi berhubungan dengan kemampuan untuk menelurkan gagasan, sensitif secara sosial, dan tentunya mampu menyelesaikan persoalan yang tengah dihadapi. Jadi, sekali lagi, literasi tidak berhenti di membaca dan menulis!” katanya.
Untuk menjelaskannya, pustakawan yang mengabdi di Perpusnas sejak 2019 ini, mengulik tentang apa itu yang disebut living library atau perpustakaan yang hidup.
Living Library
Perpustakaan yang hidup boleh dikatakan melekat dengan masyarakat yang dibangun dan berkembang dalam tradisi lisan.
Istilah tersebut merujuk pada seseorang yang menjadi sumber jawaban dari segala pertanyaan masyarakat di suatu daerah.
Berdasarkan pengalamannya, Alberto memberi contoh kasus di Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.
Di suatu waktu, Majenang terserang hama wereng, tuturnya. Namun aneh, masyarakat di situ tidak menampakkan raut gugup atau semacamnya.
“Saat saya kebetulan di sana, saya heran, ini ada hama wereng, tapi kenapa masyarakat santai ya,” kata Alberto.
Untuk membunuh rasa penasarannya, ia pun bertanya pada warga. Mereka dengan tenang menjawab bahwa sebetulnya mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya.
Mereka bisa tetap tenang sebab mereka memiliki satu orang yang warga biasa bertanya padanya perihal pertanian.
Kerapnya juga, Alberto melanjutkan, jawaban atau solusi yang mereka dapat dari orang tersebut berhasil, termasuk soal hama wereng.
Alberto melihat, sosok otoritatif ini tidak lain adalah living library. Untuk mengatasi hama, orang-orang tidak perlu membuka buku—apalagi aksesnya susah—tetapi cukup dengan berdiskusi dengan perpustakaan yang hidup.
“Poinnya adalah, hal seperti ini adalah bagian dari literasi yang tidak bisa kita abaikan dan ini banyak kita ditemukan di desa-desa,” tandas Alberto.
Perpusnas untuk masyarakat
Dalam diskusi yang ditemani oleh Al Muiz Liddinillah host kenamaan Beritabaru.co ini, Alberto berkisah pula tentang wajah Perpusnas belakangan ini.
Perpusnas sekarang, katanya, bukanlah sekadar gedung tempat disimpannya banyak buku, tapi juga tempat berbagi, berkumpulnya masyarakat, berdiskusi, dan sebagainya.
Perpustakaan bagaimana pun tidak bisa bertahan dengan gaya klasiknya yang siapa pun harus khusyuk di dalamnya, tidak boleh ada suara, dan semacamnya.
Alberto menjelaskan, perpustakaan hari ini harus menjadi tempat pembelajaran, co-working space, dan ruang publik yang nyaman.
“Termasuk pustakawannya juga. Pustakawan harus ramah jangan cemberut seperti kisah-kisah perpustakaan pada masa silam,” kata Alberto.