Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

Refleksi Akhir Tahun, Ini Kata Buya Husein Soal Cinta, Terorisme, dan Covid-19



Berita Baru, Jakarta – Jelang penutupan Tahun 2020, Beritabaru.co mengadakan BERCERITA 28 dengan menghadirkan Buya Husein Muhammad sebagai Narasumber, Selasa (29/12). Tema yang diangkat adalah “Jalan Cinta untuk Perjuangan Kemanusiaan”.

Dengan Sarah Monica sebagai pembawa acara, Buya Husein memulai diskusinya dengan berkisah tentang makna cinta dalam konteks kemanusiaan. Menurut Buya, unsur seperti kesabaran, ketabahan, toleransi, dan perbuatan yang baik merupakan buah dari cinta.

“Cinta itu mendasar. Cinta melahirkan kesabaran. Cinta melahirkan toleransi. Cinta melahirkan kebaikan. Cinta melampui kehidupan, mengembangkan ketabahan, dan bahkan kita semua lahir dari cinta,” jelas Buya Husein.

Karena kekuatan cinta yang sebegitunya, Buya Husein melanjutkan, maka seseorang penting untuk belajar mencintai dirinya sendiri sebelum memutuskan untuk mencintai orang lain.

“Ini perlu sebab hanya dengan begitu kita memiliki ukuran. Ukuran yang nantinya kita bisa lebih berhati-hati dalam memperlakukan orang lain,” ujar sosok yang juga mengagumi pemikiran Gus Dur tersebut.

“Hanya dengan begitu kita mengerti bahwa apa yang kita lakukan pada orang lain adalah sesuatu yang ketika diperlakukan pada kita, kita tidak akan merasa terluka,” imbuhnya.

Kendati demikian, hal ini tidak berarti bahwa Buya Husein menganjurkan untuk berharap timbal balik. Menurut Buya, keindahan cinta terletak pada sejauh mana seseorang mampu mencintai untuk cinta itu sendiri. “Cinta itu memang aneh,” tuturnya.

Dalam hubungannya dengan radikalisme atau bahkan terorisme, Buya berpendapat, adanya aksi tersebut merupakan bukti betapa memiliki dan mengelola cinta adalah sesuatu yang rumit.

Sebagian kecil masyarakat Muslim, lanjutnya, gagal memahami sekaligus berpegang pada cinta, sehingga mereka mengalami apa itu yang Buya Husein sebut sebagai “kerapuhan psikis”.

“Psikisnya rapuh sebab mereka masih belum bisa beranjak dan meninggalkan masa lalu, padahal dunia sudah sama sekali berubah. Mereka masih menganggap apa saja yang menjadi produk masa lalu sebagai suatu yang sakral, hingga itulah satu-satunya yg patut dijadikan pakem,” ujar Buya.

Perkawinan antara keringnya cinta dan rapuhnya psikis pada akhirnya melahirkan kecenderungan untuk berlaku eksklusif, yaitu menganggap apa pun di luar mereka sebagai sesuatu yang salah dan karena salah, maka layak diruntuhkan.

Buya Husein mencontohkan bagaimana mereka menolak demokrasi dalam kasus ini. “Betapa mereka ingin membangun kembali kejayaan masa lalu (khilafah) dan meruntuhkan demokrasi adalah bukti betapa mereka rapuh secara psikis, kering cinta, hingga tidak mau menerima kenyataan,” beber Buya Husein.

Sementara itu, terkait pandemi Covid-19, Buya Husein melihatnya bukan sebagai suatu ujian, alih-alih bencana, tetapi justru kebijaksanaan. Kebijaksanaan Tuhan.

Di benak Buya, keputusan Tuhan selalu baik. Andaipun ada bencana, itu adalah akibat dari ulah manusia sendiri. “Ada ketidakseimbangan di sini, yang melalui Covid-19, Tuhan sedang mencoba untul memperbaiki kesenjangan tersebut,” ungkapnya.

Ketika bercerita tentang ketidakseimbangan, Buya Husein menjelaskan, boleh jadi selama ini manusia terlalu dominan dan meremehkan makhluk lain seperti pepohonan, hewan-hewan, dan sebagainya. Jadi, lewat Covid-19 manusia diharapkan lebih bisa bersikap seimbang dengan alam sebagai sesama makhluk Tuhan.

“Memahami semua ini, dunia ini, memang tidak mudah. Tapi itulah yang harus kita lakukan supaya tercipta keseimbangan,” kata Buya.

Di menit-menit terakhir bercerita, masih soal keseimbangan alam, Buya berbagi trik bahwa salah satu cara supaya bisa mudah memahami dunia adalah dengan berlajar memahami sekaligus menghargai perempuan.

“Memahami perempuan adalah pintu masuk untuk bisa memahami dunia dan isinya,” sebut Buya.

“Karena kau (baik perempuan atau dunia) adalah aku yang lain,” pungkasnya.