Ramadan Kelima: dari #TanggaRuhani Kelembutan hingga Zuhud
Berita Baru, Ramadan – Pada Ramadan kelima, Oman Fathurahman telah sampai di #TanggaRuhani ke-13, yakni al-Isyfaq (lembut). Oman menafsirkan istilah ini sebagai perasaan khawatir bercampur kelembutan dan kasih sayang.
Jika kekhawatiran dalam al-Khauf lebih pada hal-hal yang akan terjadi, maka khawatir dalam al-Isyfaq cenderunh pada rasa khawatir atas apa yang sudah dilakukan.
“Seperti begini, kita khawatir amal yang sudah kita lakukan itu sia-sia sebab tidak adanya ketulusan. Meski demikian, yang jelas baik al-Khauf ataupun al-Isyfaq sama-sama berperan untuk memicu rasa waspada dalam diri kita,” kata Oman melalui pernyataan tertulis pada Sabtu (17/4).
Selain al-Isyfaq, Oman juga menyampaikan tiga (3) pesan sufi lainnya ala Tanbih al-Masyi, yakni al-Khusyu’ (tunduk dan rendah), al-Ikhbat (tenteram), dan al-Zuhd (zuhud).
Pertama atau #TanggaRuhani ke-14, menurut Oman, adalah perasaan tenteram di hadapan Tuhan. Seseorang boleh disebut sudah sampai di tangga al-Khusyu’ ketika rupanya ia memiliki sikap rendah hati, selalu menerima kebenaran, dan pasrah.
Ciri-ciri ini barangkali bisa ditengarai secara lahir, tetapi pada dasarnya letak sejati ketenteraman adalah di dalam hati dan fisik sebatas cerminan darinya.
Kedua #TanggaRuhani ke-15 merujuk pada adanya perasaan tenteram atau merasa cukup bersama Tuhan, sehingga ini berkelindan dengan tidak adanya keraguan dalam diri kita atas suatu kebenaran. Seban Tuhan adalah kebenaran itu sendiri.
Bila kita sudah bisa tidak peduli pada (p)ujian dan keburukan orang lain, apalagi menggunjingnya, maka di situlah sebenarnya kita berada di spektrum al-Ikhbat. “Dan kita penting untuk tahu bahwa al-ikhbat ini merupakan awal dari tercapainya Tuma’ninah,” ungkap Oman.
Adapun terakhir #TanggaRuhani ke-16 adalah melepas rasa cinta pada hal-hal duniawi secara ekstrem. Kenyataan bahwa hal-hal tersebut sering sekali memalingkan kita apa adanya dari Tuhan merupakan alasan mengapa zuhud penting.
Satu lagi: zuhud di sini tidak bisa dipahami sebagai keputusan untuk melepaskan harta, keluarga, dan jabatan. Tidak. Para Nabi punya semua itu, bahkan merayakannya, tetapi mereka masih menjalankan praktik zuhud.
“Kenapa bisa begitu? Sebab zuhud itu perkara hati. Soal jiwa!” Tutur Oman.