Protes Myanmar: Demonstran Memblokade Jalur Kereta Api
Berita Baru, Internasional – Para pengunjuk rasa pro-dekomrasi Myanmar memblokir jalur kereta api antara Yangon dan kota selatan pada hari Selasa (16/2), beberapa jam setelah utusan PBB memperingatkan junta tentang “konsekuensi yang parah” untuk setiap tanggapan keras terhadap demonstrasi pro-demokrasi.
Meskipun kendaraan lapis baja dan tentara telah ditempatkan di beberapa kota besar pada akhir pekan, para pengunjuk rasa tetap melakukan kampanye mereka untuk mengecam kudeta pada 1 Februari dan menuntut pembebasan Aung San Suu Kyi dan lainnya.
Selain demonstrasi di kota-kota besar di seluruh negara yang beraneka ragam etnis, gerakan pembangkangan sipil telah membawa pemogokan yang melumpuhkan banyak fungsi pemerintahan.
Para pengunjuk rasa berbondong-bondong menuju ke jalur kereta api, membawa melambaikan plakat untuk mendukung gerakan pembangkangan, menghentikan layanan antara Yangon dan kota selatan Mawlamyine, gambar langsung disiarkan oleh media.
“Lepaskan pemimpin kami segera,” dan “Kekuatan rakyat, kembalikan,” teriak para demonstran.
Massa juga berkumpul di dua tempat di kota utama Yangon – di lokasi protes tradisional dekat kampus universitas utama dan di bank sentral, di mana pengunjuk rasa berharap untuk menekan staf untuk bergabung dengan gerakan pembangkangan sipil. Sekitar 30 biksu Buddha juga memprotes kudeta tersebut dengan doa.
Tentara memutus internet untuk malam kedua berturut-turut pada Selasa pagi meskipun kembali pulih sekitar pukul 9 pagi (0230 GMT)
Melalui panggilan telepon pada Senin (15/2), utusan Khusus PBB Christine Schraner Burgener berbicara kepada wakil kepala junta, mendesak pemblokiran dan pemulihan komunikasi.
“Ms Schraner Burgener telah menegaskan bahwa hak berkumpul secara damai harus sepenuhnya dihormati dan bahwa para demonstran tidak dikenakan pembalasan,” kata juru bicara PBB Farhan Haq di Perserikatan Bangsa-Bangsa.
“Dia telah menyampaikan kepada militer Myanmar bahwa dunia sedang mengawasi dengan cermat, dan segala bentuk tindakan keras kemungkinan besar akan memiliki konsekuensi yang parah.”
Dalam catatan pertemuan tersebut, tentara Myanmar mengatakan junta Nomor Dua, Soe Win, telah membahas rencana dan informasi pemerintah tentang “situasi sebenarnya dari apa yang terjadi di Myanmar”.
Gelombang demonstrasi yang telah menghidupkan kembali ingatan tentang pecahnya pertentangan berdarah terhadap hampir setengah abad pemerintahan langsung militer yang berakhir pada tahun 2011, ketika militer memulai proses penarikan diri dari politik sipil.
Militer mengatakan pada Senin malam bahwa protes merusak stabilitas dan membuat orang ketakutan.
“Orang-orang senang memiliki patroli keamanan dan pasukan keamanan akan melakukannya siang dan malam,” kata tim informasi True News.
Sebuah kelompok aktivis, Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, mengatakan telah mencatat 426 penangkapan sejak kudeta hingga Senin. Mereka khawatir militer akan melakukan pemdaman listrik dan internet untuk menangkap lebih banyak oposisi, terutama setelah mereka menangguhkan batasan hukum pada kekuatan pencarian dan penahanan.
Kudeta militer terjadi pad 1 Februari, di mana tentara mengambil alih kekuasaan dari Aung san Suu Kyi atas tuduhan kecurangan dalam pemilu. Namun, komisi pemilihan telah menepis klaim tersebut.
Kudeta tersebut telah memicu kemarahan dari negara-negara Barat, dengan Amerika Serikat telah menetapkan beberapa sanksi terhadap para jenderal yang berkuasa.
Namun demikian, China mengambil pendekatan yang lebih lembut, dengan alasan stabilitas harus menjadi prioritas di negara tetangganya, yang memiliki kontak dekat dengan militer. China, bagaimanapun, bergabung dengan anggota Dewan Keamanan PBB lainnya dalam menyerukan pembebasan Suu Kyi dan lainnya.
Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi mengatakan dalam sebuah pengarahan di Jakarta bahwa Myanmar harus tetap berpegang pada jalan demokrasi.
“Keselamatan dan keamanan rakyat Myanmar adalah masalah utama dan transisi menuju demokrasi semakin maju,” katanya.