PKB Jatim: Sistem Pemilu Proporsional Tertutup Mengunci Pimpinan Partai Jadi Otoritas Tunggal
Berita Baru, Surabaya – Perdebatan soal sistem pemilu proporsional terbuka dan tertutup terus bergulir. Pembicaraan ini bermula saat ada gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Para pemohon dari sejumlah warga, termasuk didalamnya PDI Perjuangan, meminta agar MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional, sehingga sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Salah satu yang menjadi alasan untuk merubah sistem pemilu tersebut, karena sistem proporsional terbuka dinilai sangat liberal. Terdapat banyak celah, mulai dari tak terbendungkan money politik hingga terjadinya pertarungan bebas atau kanibal sesama calon legislatif (caleg).
Wakil Sekretaris DPW PKB Jawa Timur (Jatim) Mochammad Sholihul Umam, menegaskan bahwa bila melihat dari banyak evolusi tersebut yang menjadi problem bukan pada wilayah sistem tertutup atau terbuka. Tapi mengerucut pada perbaikan sistem pemilu di ranah kesadaran politik, atau pendidikan politik.
“Kalau terbuka, ketakutan keuangan yang maha kuasa, adanya transaksi dan sebagainya. Terkait, kedepannya nanti sistem proporsional terbuka masih sangat dinamis. Karena apa, karena regulasi juga bisa akan diubah,” kata Sholihul Umam dalam Talk Show Politik edisi 2, Rumah Kebangsaan Jawa Timur, bertajuk ‘Menakar Proporsional Terbuka dan Tertutup’, Sabtu (21/1).
Ia kemudian menyebut, bagi PKB sistem proporsional tertutup malah menghambat proses kaderisasi. Selain itu juga, sistem proporsional tertutup mengunci pimpinan partai menjadi otoritas-otoritas tunggal di dalam partai. Sehingga tidak menutup kemungkinan terjadi transaksional yang itu hanya dinikmati oleh para petinggi partai.
“Karena kalau pakai sistem proporsional tertutup bukan berarti terus kemudian partai secara langsung memilih kadernya untuk ditempatkan di nomor urut tertentu, atau nomor urut yang atas, nomor 1, 2,” ujar Sholihul Umam.
Lebih lanjut Sholihul Umam menjelaskan, hasil evaluasi pada pelaksanaan pemilu sebelumnya harus menjadi evaluasi tersendiri bagi para penyelenggara pemilu dan partai politik. Tidak lantas kemudian menawarkan jalan singkat yang mengancam demokrasi di tangan rakyat.
“Saya tidak ragu. Sangat yakin, bahwa penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu memiliki integritas yang tinggi terhadap proses demokratisasi di Indonesia,” tuturnya.
Oleh sebab itulah, Sholihul Umam menawarkan solusi agar pemilu ke depan, dengan sistem proporsional terbuka-nya, menjadi lebih baik dan celah-celah yang ada dapat diminimalisir. Salah satu diantaranya adalah dengan memasifkan pendidikan politik bagi pemilih.
“Jadi penyelenggara pemilu kedepannya, mungkin bisa ditambah kos untuk melakukan pendidikan politik, selain yang telah dilakukan partai politik. Semisal, entah KPU atau Bawaslu, diberi sub anggaran yang jauh lebih besar lagi untuk melakukan pendidikan terhadap para pemilih. Itupun juga dalam rangka meningkatkan partisipasi pemilih,” pungkasnya.