Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

PERSADA UB Desak Pencabutan Pengaturan Hukum Acara Pidana dalam Revisi UU POLRI

PERSADA UB Desak Pencabutan Pengaturan Hukum Acara Pidana dalam Revisi UU POLRI



Berita Baru, Jakarta – Focus Group Discussion (FGD) yang diadakan oleh Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan Pusat Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB) pada 25 Juli 2024, membahas dampak revisi UU POLRI terhadap hukum acara pidana. Acara yang berlangsung di Grand Mercure Malang Mirama ini dihadiri oleh lebih dari 60 peserta dari berbagai kalangan, termasuk mahasiswa, akademisi, dan perwakilan LSM.

Ketua Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Solehuddin, mengungkapkan bahwa FGD ini diselenggarakan untuk merespons masalah dalam revisi UU POLRI yang berpotensi menghilangkan jaminan due process dan mengakibatkan ketidakpaduan dalam sistem peradilan pidana.

“Ini berdampak pada tidak adanya jaminan due process dan berpotensi pada ketidakpaduan dalam sistem peradilan pidana dan menjadikannya tidak terjaminnya kepastian hukum,” katanya.

Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Milda Istiqomah, menambahkan bahwa penambahan kewenangan dalam RUU POLRI dapat menciptakan masalah sektoral dan minim pengawasan.

“Penambahan kewenangan yang terkait hukum acara pidana dalam RUU Polri berpotensi besar menimbulkan masalah karena akan sangat sektoral dan nir pengawasan,” ungkap Milda.

Asfinawati dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia memaparkan berbagai pelanggaran HAM dan masalah dalam POLRI terkait penyidikan. “Masalah dalam POLRI, khususnya terkait fungsi penyidikan, meliputi konflik kepentingan dan pelanggaran KUHAP. Beberapa pasal dalam RUU POLRI juga dinilai bermasalah,” katanya.

Fachrizal Afandi dari Universitas Brawijaya menyoroti pentingnya pengawasan dan akuntabilitas dalam penyelidikan dan penyidikan yang melibatkan kepolisian. “Kehadiran RUU POLRI di tengah persoalan-persoalan tersebut perlu diperhatikan karena RUU POLRI banyak menambah fitur-fitur baru bagi POLRI berupa penambahan kewenangan, namun tidak mengatur soal pengawasan dan pembatasan kewenangannya,” jelasnya.

Bambang Rukminto dari ISESS membahas teori yang menjelaskan masalah dalam tubuh POLRI, seperti panopticon dan broken windows theory. “Panopticon dikorelasikan dengan keinginan Polri dalam menambah banyak kewenangan pengawasan, sedangkan broken windows theory menunjukkan pelanggaran hukum oleh Polri,” ujarnya.

Junaedi Saibih menekankan pentingnya perlindungan hak asasi manusia dalam proses hukum pidana. “Tata cara perolehan bukti dalam proses pidana adalah bentuk nyata penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia,” ungkapnya.

Purnawirawan TNI, Soleman B. Ponto, memperingatkan tentang potensi konflik antara operasi intelijen dan penegakan hukum yang transparan. “Penegakan hukum dan operasi intelijen memiliki prinsip dasar yang sangat berbeda,” katanya.

Imam Hidayat menyoroti praktik impunitas dalam kasus Tragedi Kanjuruhan, menunjukkan keengganan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. “Ini menunjukkan praktik impunitas yang masih langgeng dan tidak menjadi poin perubahan dalam revisi UU POLRI,” tegasnya.

Dari hasil FGD ini, seluruh narasumber dan peserta sepakat untuk mendorong DPR menunda pembahasan RUU POLRI dan mencabut pengaturan hukum acara pidana dalam RUU ini untuk dibahas kembali secara cermat setelah revisi KUHAP.