Pemerintah Sulit Membuktikan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu, Mahfud MD: Bukan Tidak Mau!
Berita Baru, Jakarta – Menko Polhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa pemerintah kesulitan mengungkap pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu.
Ia menyebut, pemerintah sudah berupaya membawa empat peristiwa ke Pengadilan HAM dengan 35 terdakwa, namun seluruh terdakwa dinyatakan tak bersalah dan bebas.
“Jadi kita ini tidak bisa membuktikan di pengadilan, bukan tidak mau,” kata Menko Polhukam Mahfud dalam Raker Komite 1 DPD RI di Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, (4/7).
“Karena kalau mau membuktikan di Pengadilan HAM itu kan akan ditanya oleh hakim, pelakunya siapa? Membunuh dengan apa? Tanggal berapa, jam berapa? Visum et repertum-nya mana? Itu hilang semua, ndak ada. Tahun 65 apa lagi, orang udah meninggal semua,” sambungnya.
Beberapa kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang dicoba untuk dibawa ke Pengadilan HAM, antara lain Peristiwa Jejak Pendapat Timor Timur dengan terdakwa 18 orang, Peristiwa Tanjung Priok 14 orang, Peristiwa Abepura 2 orang, dan Peristiwa Paniai 1 orang.
Mahfud MD menyebut pemerintah kesulitan mendapatkan bukti pelanggaran HAM dari peristiwa tersebut. Menurut dia, pembuktian pelanggaran HAM harus dibuktikan secara hukum acara.
“Namun, karena waktu peristiwa yang sudah terlampau lama, semua pembuktian itu menjadi sangat sulit,” katanya.
Sehingga sejak 25 tahun reformasi, Mahfud menyebut belum pernah ada satu pun kasus pelanggaran HAM yang pelakunya dinyatakan bersalah.
“Orang berdebat hakim itu ndak objektif, jaksa ga serius, ndak. Karena memang bulak-balik Kejaksaan dan Komnas HAM tidak ketemu di hukum acaranya,” tutur Mahfud MD.
Kemudian Mahfud Menjelaskan, atas dasar kesulitan mengadili para pelaku itu, Presiden Jokowi kemudian menerbitkan Keputusan Presiden 17 Tahun 2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu.
Tujuan dari pembentukan tim ini agar para korban mendapatkan kompensasi atas pelanggaran HAM berat yang mereka rasakan, sambil pengadilan mencari pelakunya.
“Daripada berdiam diri karena UU enggak jalan. Tetapi di situ disebutkan ini tidak menghapuskan kewajiban penyelesaian yudisial,” ungkap Mahfud.
Adapun langkah konkret dari penyelesaian secara yudisial ditempuh melalui konsultasi ke DPR RI bersama Komnas HAM. Nantinya DPR bakal dilibatkan untuk mencari cara pembuktian para pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu.
“Penyelesaian non-yudisial tak menghapus penyelesaian secara yudisial. Pengadilan masih ada, kita penyelesaian yudisial jalan saja, tapi kalau tidak bisa, mari kita sikapi saja oleh DPR (katakan) tidak bisa, kalau bisa, mana buktinya?” kata Mahfud.