Pemerintah Didesak Prioritaskan Keadilan Ekologis dan Perlindungan Masyarakat Pesisir
Berita Baru, Jakarta – Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan ribuan desa pesisir, menghadapi tantangan serius dari krisis iklim dan kebijakan pembangunan yang seringkali meminggirkan masyarakat lokal. Para pegiat lingkungan dan anggota Jaring Nusa mendesak agar pemerintahan yang akan datang memperhatikan keadilan ekologis, terutama bagi masyarakat di wilayah pesisir dan pulau kecil yang rentan.
Asmar Exwar, Dinamisator Jaring Nusa, menegaskan bahwa kebijakan pemerintah harus fokus pada perlindungan dan pengakuan wilayah kelola rakyat. “Pemerintahan ke depan harus merumuskan produk kebijakan yang memberikan jaminan dan kepastian terhadap perlindungan masyarakat di desa-desa pesisir dan wilayah adat yang terancam oleh krisis iklim,” katanya seperti dikutip dari rilis resmi Walhi, Sabtu (14/9/2024).
Senada dengan itu, Gadri R. Attamimi dari Yayasan EcoNusa menekankan pentingnya melindungi keanekaragaman hayati di Indonesia Timur. “Kita harus mendorong kembali kearifan lokal yang sudah mengakar di masyarakat untuk melindungi keanekaragaman hayati di wilayah ini,” ujarnya, mengingatkan bahwa pemerintah harus memiliki kemauan politik untuk menjaga kearifan lokal.
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau Kecil WALHI Nasional, juga menyoroti proyek ekstraktif yang merugikan masyarakat pesisir. “Proyek ekstraktif dan neo-ekstraktif seperti tambang pasir laut dan reklamasi harus dihentikan total demi keadilan antargenerasi,” tegasnya.
Di sisi lain, Faizal Ratuela, Direktur WALHI Maluku Utara, menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan saat ini gagal memberikan keadilan bagi masyarakat kepulauan di kawasan timur Indonesia. Ia meminta agar investasi industri ekstraktif di pesisir laut dan pulau kecil ditinjau ulang. “Selama satu dekade ini, kebijakan pembangunan hanya menguntungkan segelintir orang, sementara masyarakat di timur Indonesia semakin rentan terhadap bencana ekologis,” jelasnya.
M. Yusuf Sangadji, Direktur Eksekutif JALA INA, juga menyampaikan kekhawatirannya terhadap kebijakan konservasi laut dan penangkapan ikan terukur yang berpotensi merampas ruang hidup masyarakat pesisir di Kepulauan Maluku. Menurutnya, kebijakan ini lebih berorientasi pada peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) ketimbang perlindungan masyarakat.
Jull Takaliuang, Ketua Yayasan Suara Nurani Minaesa, menuntut penegakan hukum yang tegas terkait pencabutan izin tambang PT Tambang Mas Sangihe dan menekankan perlunya penghentian aktivitas tambang ilegal. Ia juga menyerukan penghentian izin reklamasi yang merusak ekosistem pesisir di Manado Utara.
Sementara itu, Zafira Daeng Barang, Manajer Program Perkumpulan PakaTiva Maluku Utara, menyoroti dampak perubahan iklim terhadap masyarakat pesisir, terutama kelompok rentan seperti anak-anak dan perempuan. “Kita mendesak pemerintah untuk merancang pembangunan yang sesuai dengan karakteristik wilayah kepulauan, serta membangun mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim,” ungkapnya.
Pius Jodho dari Yayasan Tananua Flores mengingatkan pentingnya kemandirian pangan lokal di tengah perubahan iklim. “Pemerintahan baru harus mengembangkan benih pangan lokal yang tahan terhadap perubahan iklim,” katanya.
Andi Anwar, Direktur Yayasan Bonebula, juga menyoroti dampak perubahan iklim dan kegiatan industri terhadap produktivitas laut di NTB, sementara Amin Abdullah, Ketua Lembaga Pengembangan Sumberdaya Nelayan-NTB, menyebutkan adanya pengaruh negatif dari tambak udang besar dan penambangan pasir laut di wilayah tersebut.
Terakhir, Jefri dari PGM Malaumkarta, Sorong, Papua Barat, mewakili masyarakat adat yang selama ini berhasil menjaga kelestarian lingkungan di wilayah mereka. “Pemerintah harus mengakui dan melindungi masyarakat adat yang telah berperan menjaga sumber daya alam di Indonesia,” tutupnya.