Pegang Kartu Truf, China Bakal Menangi Perang Dagang dengan AS?
Beritabaru.co – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin tajam, dan pertanyaan utama kini mengerucut pada satu hal: siapa yang akan menang? Kedua negara telah menempuh jalur konfrontatif—saling menaikkan tarif, memblokir produk unggulan, hingga menggunakan strategi non-ekonomi.
“Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas. Saling balas tarif hingga boikot dilakukan kedua negara tersebut.”
Presiden AS Donald Trump telah menaikkan tarif terhadap barang-barang asal China hingga 245 persen. Sebagai respons, China tidak hanya menaikkan tarif hingga 125 persen, tetapi juga memboikot pesawat jet Boeing—simbol dominasi industri penerbangan AS. Namun, kartu truf paling serius yang kini dimainkan China adalah kendalinya atas logam tanah jarang.
China Kuasai Stok Logam yang Melimpah
Pada 4 April lalu, China menetapkan pembatasan ekspor terhadap tujuh jenis logam tanah jarang. Bahan ini sangat penting dalam industri teknologi tinggi seperti kendaraan listrik, sistem pertahanan, dan elektronik canggih.
“Dominasinya dalam ekspor logam tanah jarang juga menjadikan China pemain penting dalam industri teknologi global,” jelas ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi.
Menurut data International Energy Agency, China menguasai 61 persen produksi tambang logam tanah jarang global. Akibat pembatasan ekspor, pengiriman magnet berbasis tanah jarang dari China ke lima perusahaan AS dan Eropa dihentikan. Ini memberikan tekanan besar kepada manufaktur Barat, menjadikan logam tanah jarang sebagai senjata strategis dalam perang dagang.
Syafruddin menambahkan, tidak ada pemenang mutlak dalam perang tarif ini karena sifatnya yang destruktif. Namun, kekuatan China dalam mengendalikan pasokan bahan baku strategis memberinya posisi tawar yang lebih kuat ketimbang AS yang mengandalkan tarif dan retorika.
“Jika kedua negara terus mempertahankan pendekatan konfrontatif tanpa inisiatif kompromi, maka hasilnya akan berupa kerugian bersama,” katanya. Tetapi dalam skema kerugian kolektif ini, China tampaknya mampu meminimalkan dampak dengan kontrol logam tanah jarang yang tidak dimiliki negara lain.
Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, turut menyatakan bahwa peluang negosiasi terbuka, namun ego politik menghalangi dialog.
“Namun baik Trump dan China sama-sama tidak ingin menjadi pihak yang mengalah dengan memohon negosiasi terlebih dahulu,” ujarnya.
Dalam konteks ini, siapa yang akan menang? China memiliki keunggulan struktural yang tak mudah ditandingi: kontrol pasokan logam tanah jarang. Dalam medan perang dagang yang berlarut-larut, keunggulan inilah yang berpotensi menentukan arah kemenangan.