Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

PBHI
Foto: polisi ketika berada di lokasi lahan konflik

PBHI Sumbar Kecam Penangkapan Petani di Tengah Konflik Lahan dengan Perusahaan Sawit



Berita Baru, Sumatera Barat – Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Sumatera Barat menyoroti kehadiran aparat kepolisian yang dinilai memperkeruh konflik lahan antara masyarakat petani Nagari Kapa dan perusahaan sawit PT Permata Hijau Pasaman (PHP 1), anak perusahaan Wilmar Group. Pada Senin, 7 Oktober 2024, lima petani kembali ditangkap di lahan yang berstatus Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Proses LPRA ini sedang ditangani oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Kabupaten Pasaman Barat bersama Kementerian Agraria Tata Ruang dan Badan Pertanahan Nasional (ATR-BPN).

Ketua PBHI Sumbar, Ihsan Riswandi, mengkritik keras langkah yang diambil oleh aparat kepolisian, menyatakan bahwa kehadiran mereka justru memperburuk situasi. “Kehadiran aparat justru membuat kegaduhan. Penangkapan ini mengarah pada praktik penegakan hukum yang tidak adil dan semena-mena,” ujar Ihsan, dikutip dari laman Ihwal.co pada Senin (14/10/2024).

Ihsan menilai penangkapan para petani merupakan bentuk intimidasi yang tidak sejalan dengan hukum. “Penangkapan ini adalah bentuk pembungkaman kepada masyarakat yang sedang memperjuangkan haknya. Ini jelas melanggar ketentuan perundang-undangan,” tambahnya.

Sebelumnya, sembilan petani ditangkap oleh aparat dan kemudian dibebaskan. Namun, kini lima petani lainnya ditangkap dalam situasi yang mirip. Ihsan mempertanyakan motif di balik tindakan tersebut. “Apa tujuan aparat membawa petani tersebut ke Polda Sumbar? Bukankah ini bentuk intimidasi kepada masyarakat kecil yang sedang memperjuangkan haknya?” ucap Ihsan dengan nada heran.

Konflik ini bermula ketika ratusan polisi dari Polres Pasaman Barat dan Polda Sumatera Barat mengawal PT Permata Hijau Pasaman I (PHP I) dalam proses penggusuran tanaman, pondok, dan posko milik para petani. Menurut laporan dari PBHI, petani tidak melakukan tindakan anarkis dan hanya bertahan di lahan mereka. “Masyarakat berdiam di atas lahan mereka. Tidak melakukan tindakan anarkis. Justru tindakan represif dilakukan oleh aparat penegak hukum yang mengakibatkan sejumlah petani mengalami luka-luka,” jelas Ihsan.

Ihsan juga menegaskan bahwa Polri harus mematuhi aturan yang ada dalam Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Pengendalian Massa. “Ada tiga fase yang harus diperhatikan Polri, yaitu hijau, kuning, dan merah. Dalam situasi ini, seharusnya Polri berada pada fase hijau, di mana mereka hanya melakukan pengamanan dan mengimbau agar massa tetap tertib, bukan malah bertindak represif,” pungkas Ihsan.

Dengan situasi yang semakin tegang, PBHI Sumbar mendesak aparat kepolisian untuk lebih bijaksana dalam menangani konflik agraria ini dan menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap masyarakat petani.