PBB Lanjutkan Negosiasi INC-5.2, AZWI Dorong Pengendalian Produksi Plastik dan Penguatan Ekosistem Guna Ulang
Berita Baru, Jakarta — Keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melanjutkan perundingan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 tahun depan disambut sebagai peluang strategis untuk memperkuat komitmen global dalam mengatasi pencemaran plastik. Meskipun proses negosiasi sebelumnya di Busan, Korea Selatan, berjalan lambat dan diwarnai kontroversi, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menilai ada progres signifikan, terutama terkait struktur perjanjian.
“Draft INC-5 sudah mulai menunjukkan kejelasan, meski masih ada tantangan besar, terutama dalam memastikan transparansi dan partisipasi publik,” kata Nindhita Proboretno, Co-Coordinator AZWI dan Manager Toxics Program Nexus3 Foundation, dalam media briefing bertajuk “Kabar dari Busan, INC-5 Plastics Treaty” di Jakarta, Rabu (11/12/2024).
Nindhita menyoroti kendala yang dihadapi selama negosiasi di Busan. Ia menyebut bahwa minimnya akses informasi dan terbatasnya partisipasi masyarakat sipil berpotensi mengurangi inklusivitas dalam merumuskan kebijakan pencemaran plastik. “Terbatasnya akses masyarakat sipil dapat mengurangi efektivitas kebijakan yang dihasilkan,” ujarnya dalam siaran pers yang terbit pada Kamis (12/12/2024).
Salah satu isu krusial dalam perundingan INC-5 adalah dominasi pelobi industri fosil. Negara-negara penghasil minyak, seperti Arab Saudi, secara tegas menolak pembatasan produksi plastik dan mendorong pengelolaan sampah sebagai solusi utama. Nindhita mengingatkan bahwa pendekatan semacam ini dapat memperlambat kemajuan global.
“Ada upaya dari negara-negara penghasil minyak untuk mendorong semua keputusan di COP bergantung pada konsensus. Ini berpotensi menghambat kemajuan upaya pengendalian pencemaran plastik secara global,” jelas Nindhita.
Posisi Indonesia dalam perundingan INC-5 menuai sorotan. Meskipun ada langkah positif seperti dukungan terhadap negara-negara berkembang dan pengaturan siklus hidup plastik, Indonesia juga mengusulkan perubahan terminologi dari “emissions and releases” menjadi “releases and leakages”. Usulan ini dinilai melemahkan pengaturan emisi sepanjang siklus hidup plastik.
“Posisi ini seakan-akan mendukung penghapusan pengaturan emisi secara menyeluruh dari siklus hidup plastik. Usulan tersebut perlu dipertimbangkan ulang,” ujar Ghofar, perwakilan dari AZWI.
Lebih lanjut, Indonesia dinilai masih mengedepankan solusi pengelolaan sampah berbasis hilir, seperti pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) dan Refuse Derived Fuel (RDF). Sebaliknya, upaya untuk mendorong ekosistem guna ulang yang lebih ramah lingkungan masih relatif minim.
“Kami berupaya agar guna ulang dapat menjadi solusi inti. Ini bisa dilakukan dengan memperkuat mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR),” ujar Rahyang Nusantara, Deputy Director Dietplastik Indonesia sekaligus Co-Coordinator AZWI. Ia juga mendorong adanya dukungan finansial untuk infrastruktur guna ulang dan pengaturan standar desain produk yang dapat digunakan kembali.
Di sisi lain, Senior Journalist Kompas, Ahmad Arif, menyayangkan minimnya pemberitaan media Indonesia terkait isu lingkungan, khususnya perundingan COP29 dan INC-5. “Perspektif keadilan iklim yang diusung organisasi masyarakat sipil (CSO) masih sangat terbatas,” tegasnya.
Menurut Arif, jurnalisme lingkungan membutuhkan penguatan dari berbagai aspek. Ia mengusulkan adanya program fellowship, keamanan fisik dan digital, kolaborasi media dengan CSO dan akademisi, serta penguatan media alternatif. “Perlindungan terhadap jurnalis lingkungan juga harus diperkuat. Dalam 15 tahun terakhir, 749 wartawan lingkungan mengalami kekerasan dan intimidasi,” tambahnya.
Menyongsong perundingan INC-5.2, Senior Advisor Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati, menekankan pentingnya perjanjian plastik yang mampu melindungi kesehatan manusia dan lingkungan. Ia mendorong negara-negara peserta agar lebih ambisius dalam mengendalikan produksi dan emisi plastik.
“Perjanjian plastik harus mampu mengontrol potensi emisi dari petrokimia, kompleks industri, dan pabrik daur ulang plastik. Ini termasuk penguatan transparansi dan pengendalian pencemaran serta kajian ulang terhadap standar baku mutu,” tegas Yuyun.
Yuyun juga menyoroti perlunya penguatan regulasi nasional, termasuk revisi Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Ia menekankan bahwa sektor pangan, kesehatan, serta produk dan mainan anak harus bebas dari polusi plastik dan senyawa kimia berbahaya.
“Negara harus memastikan adanya biomonitoring dan penguatan kapasitas untuk melindungi masyarakat dari paparan bahan kimia plastik berbahaya,” ujar Yuyun. Dengan keputusan PBB untuk melanjutkan negosiasi dalam INC-5.2, AZWI mendesak negara-negara peserta, termasuk Indonesia, untuk memperkuat komitmen. Fokusnya adalah mengurangi produksi plastik, menghapus senyawa kimia berbahaya, dan memperkuat ekosistem guna ulang. Harapannya, perjanjian ini tidak hanya mengakomodasi kepentingan industri, tetapi juga melindungi masyarakat dari ancaman pencemaran plastik global.