Pandemi sebagai Respons Alam atas Kerakusan
Berita Baru – Bagi saya pandemi ini merupakan dampak langsung dari perubahan yang signifikan dalam alam, karena transmisi virus ke manusia merupakan proses mutasi genetik yang dipengruhi oleh sebab yang panjang. Seperti adanya kerusakan masif di lingkungan esensial, hingga perilaku manusia dalam mengeksploitasi alam berlebihan tanpa memikirkan implikasinya. Ini menjadi satu concern yang harus dipahami, melalui akar atau asal muasal sebuah tragedi biologis.
Tentu, di tengah investasi yang semakin masif, apalagi dalam konstruksi ekonomi yang dipengaruhi oleh arus pasar global, dalam hal ini bicara soal produksi dan konsumsi, maka kita akan tahu yang dimaksud dengan permintaan dan penawaran. Semakin tinggi arus dari kegiatan tersebut, maka semakin tinggi pula eksploitasi terhadap alam. Implikasi negatif dari hal tersebut adalah diambilnya terus menerus bahan mentah, sehingga mengakibatkan destruksi alam yang semakin luas.
Kondisi ini mengakibatkan retaknya metabolisme alam, sehingga rantai sirkulasi alam terganggu, mengakibatkan dampak yang cukup serius. Seperti air yang semakin menipis karena ada eksploitasi wilayah hulu, es mencair di Kutub Utara mengakibatkan naiknya permukaan air laut, semakin meningkatnya suhu bumi, hingga terputusnya rantai makanan. Terputusnya rantai sirkulasi alam atau daya topang ekosistem, mengakibatkan retakan yang dapat merusak kehidupan itu sendiri.
Munculnya pandemi ini juga diakibatkan oleh terputusnya rantai tersebut, dari awalnya mikroorganisme tersebut tersimpan di hutan belantara, lalu rumahnya dirusak untuk eksploitasi, inang alamiahnya ditangkap dan disantap. Mutasi dimulai, transmisi mikroorganisme berlangsung cepat, sehingga tidak lagi horizontal antara hewan dengan hewan, tetapi tranmisi meluas menjadi antara hewan ke manusia dan bisa sebaliknya manusia ke hewan.
Kerusakan demikian dapat diartikan sebagai hancurnya tatanan ekologi, karena selain berdampak pada alam juga akhirnya menyasar pada manusia. Tetapi mengapa semua ini terjadi, dan apakah sebenarnya tidak bisa dihentikan. Jawabannya bisa, jika pemilik kuasa merekonstruksi ulang model pembangunannya dan benar-benar menerapkan kebijakan hijau yang linier dengan kelestarian. Tapi apakah akan terlaksana? Susah, ini berkaca pada prinsip konservatif suatu ekonomi, di mana dalam arus pasar global, maka kita mengenal neoliberalisme dan kapitalisme, hanya menginginkan eksploitasi dan eksploitasi tanpa batas.
Karena yang dikejar adalah akumulasi, atau bertambahnya pundi-pundi keuntungan. Jikalau di dalam suatu negara berkongkalikong antara pengejar keuntungan dengan elite oportunis, maka dampaknya ialah transaksional. Nah, ini mengakibatkan rusaknya suatu kebijakan, sehingga penerapan pembangunan yang terukur dengan daya dukung lingkungan tidak akan jalan. Yang terjadi adalah pembiaran dan pemfasilitasan perusakan secara masif.
Kondisi tersebut tentu akan berdampak pada situasi dan kondisi ekosistem yang ada, bahkan dampak satu dari suatu eksploitasi yang tidak tahu diri akan berelasi dengan dampak lainnya. Semisal kita membayangkan wilayah Jawa, ada yang namanya sungai Bengawan Solo dan Brantas. Semuanya bermuara di wilayah pantai utara sebagai wilayah hilir, kala wilayah hulu mengalami degradasi dan kerusakan, lalu wilayah tengah melakukan pencemaran maka wilayah hilir akan tercemar.
Cemaran tersebut tidak hanya terjadi di wilayah hulu, tetapi berpengaruh di wilayah tengah dan tentu mencemari wilayah hilir akhir yakni laut. Tidak hanya pertanian yang tercemar pada akhirnya, laut pun tak luput dari pencemaran tersebut. Berimplikasi pada konsumsi air minum kita, nutrisi untuk tanaman pangan kita dan protein alami dari ikan yang biasa kita konsumsi. Ini merupakan sebuah sirkulasi yang memiliki koherensi, menyatu dan menjahit menjadi sebuah satu kesatuan.
Sama halnya dengan satu wilayah hutan rusak, maka banyak rumah bagi ribuah hewan dan tumbuhan hingga mikroorganisme yang rusak. Dampaknya ialah ekosistem terganggu, dan manusia lah yang pada akhirnya merasakannya, sama seperti munculnya infeksi dari salah satu mikroorganisme sehingga membuat satu penyakit. Karena watak eksploitasi tersebut membuat mereka terlempar dari ruang hidupnya, pada satu titik akan beradaptasi dan pada titik lainnya akan melakukan revolusi.
Mereka akan menyebar ke tempat-tempat yang asing dan mempengaruhi apa yang ditempatinya. Tidak hanya mikroorganisme, alam pun akan merespons satu kerusakan dengan membuat satu perlawanan, yakni dalam bentuk bencana. Salah satunya banjir, angin puting beliung, suhu udara yang panas hingga mengakibatkan kebakaran dan ledakan-ledakan kecil di situs minyak bumi karena siklus alam. Ini adalah gambaran kualitatif mengenai betapa meruginya suatu komunitas, jika benar-benar ruang hidupnya rusak akibat dari pemanfaatan yang tidak tahu diri. Akibat dari keserakahan segelintir orang yang ingin mendapatkan keuntungan dan kekayaan.
Melalui sistem politik yang transaksional aneka kebijakan rakus dibuat, tidak ada yang mementingkan ruang hidup manusia dan alam. Hanya keuntungan dan pundi-pundi emas yang diharapkan. Lalu jikalau situasi krisis seperti ini, lantas apakah uang atau emas ada harganya? kala ruang-ruang kapital berhenti berproduksi, tenaga kerja banyak yang tumbang, konsumsi menurun dan saham-saham sudah tidak laku. Semua adalah implikasi dari keserakahan. Bahkan lebih jauh implikasi dari kita yang membiarkan dan mewajarkan kondisi tersebut.
Kita lupa fungsi dan tugas manusia, kita lupa fungsi dan tugas kita sebagai warga negara dan kita lupa sebagai warga negara yang punya hak politik. Semua tatanan ini bisa dirubah menjadi lebih baik. Karena bencana yang ada bukan tiba-tiba datang dari suatu alam lain, tapi dari proses panjang keserakahan yang kita wajarkan. Lebih baik mencegah daripada menghadapi terus menerus sebuah bencana. Daripada harus menunggu yang namanya environment revolution, perubahan cepat dari suatu alam untuk merubah apa yang telah telah ada, akibat retaknya metabolisme alam. [*]