Pakistan: Ratusan Pria Diperiksa atas Kasus Serangan Seksual Berkelompok
Berita Baru, Internasional – Ratusan pria di Pakistan tengah diperiksa oleh polisi atas kasus serangan seksual terhadap seorang wanita di sebuah taman di Lahore.
Serangan tersebut, seperti dilansir dari The Guardian, Kamis (19/8) terekam dalam beberapa video yang kemudian viral. Segerombolan pria berjumlah lebih dari 400 orang terlihat mendatangi korban yang sedang membuat konten video TikTok bersama temannya di taman Greater Iqbal Lahore, kemudian melakukan serangan seksual.
Kejahatan tersebut terjadi di siang hari bolong, para pria menarik korban dan mendorong ke arah gerombolan mereka, merobek pakaiannya dan menyerang serta meraba-rabanya.
Wanita itu mendaftarkan kasus terhadap 300 hingga 400 orang tak dikenal ke polisi Lahore, menurut laporan kasus yang dilihat oleh Guardian.
“Kerumunan menarik saya dari semua sisi sedemikian rupa sehingga pakaian saya robek. Saya dilempar ke udara. Mereka menyerang saya secara brutal,” kata wanita itu dalam sebuah pernyataan kepada polisi. Korban juga mengatakan bahwa mereka mengambil uang, anting-anting dan teleponnya.
Rekaman itu memicu gelombang kemarahan di Pakistan. Menteri informasi negara itu, Fawad Chaudhry, mengatakan penangkapan sedang dilakukan. Beberapa pelaku telah diidentifikasi melalui rekaman CCTV dan saksi mata. Chaudhry berkata: “Kami sedang mengerjakannya dengan kecepatan penuh. Perdana menteri juga telah memperhatikan.”
Para aktivis, politisi, selebriti, Amnesty International dan orang-orang di seluruh Pakistan menyatakan kemarahan mereka atas serangan itu. Ketua Partai Rakyat Pakistan, Bilawal Bhutto Zardari, mengatakan insiden itu seharusnya mempermalukan setiap orang Pakistan dan membomgkar kebusukan di masyarakat Pakistan.
Penyanyi Pakistan, Farhan Saeed, mengatakan: “Saya jijik, marah, patah hati, malu bahwa orang-orang di negara ini terus melakukan tindakan mengerikan ini setiap hari”.
Senator Pakistan Sherry Rehman mengatakan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan baru-baru ini menunjukkan bahwa masalah itu kian memburuk di Pakistan. “Kebanyakan kasus kebanyakan diabaikan, ditutup atau dikesampingkan dalam budaya patriarki yang membungkam korban,” katanya.
Pakistan adalah negara paling berbahaya keenam di dunia bagi perempuan, menurut Thomson Reuters Foundation. Organisasi War Against Rape yang berbasis di Karachi memperkirakan bahwa hanya kurang dari 3% kasus pemerkosaan berujung pada hukuman.
Perdana menteri Pakistan, Imran Khan, telah mendapat sorotan karena menyebut peningkatan kasus pemerkosaan dan penyerangan seksual harus disalahkan pada bagaimana wanita berpakaian dan berperilaku.
“Jika seorang wanita mengenakan pakaian yang sangat mini, itu akan berdampak pada pria kecuali mereka adalah robot,” kata Khan dalam sebuah wawancara pada bulan Juni. “Jika Anda meningkatkan godaan di masyarakat ke suatu titik – dan semua pemuda ini tidak punya tempat untuk pergi – itu memiliki konsekuensi di masyarakat.”
Rehman mengatakan komentar Khan adalah refleksi dari budaya seksisme dan kebencian terhadap wanita. Dengan mengatakan wanita harus berpakaian dengan cara tertentu, dia memberi penindas dan penjahat terhadap wanita narasi baru untuk membenarkan perilaku mereka.
Wanita yang telah berjuang melawan kekerasan dan sistem patriarki Pakistan telah menghadapi serangan dan pelecehan dan ditampar dengan tuduhan penistaan dan vulgar yang palsu. Penyelenggara Aurat March, pawai perempuan tahunan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan, telah menghadapi pelecehan oleh kelompok agama dan polisi.
Seorang penyelenggara pawai, yang memiliki delapan kasus polisi berbeda yang diajukan terhadapnya, yang kemudian diberhentikan oleh pengadilan, mengatakan: “Pemerintah harus menganggap ini sebagai krisis nasional. Saya sangat berharap pemerintah, setelah semua insiden ini, berhenti menyalahkan korban dan menyebut mereka sebagai insiden yang terisolasi. Ini harus terlibat dengan gerakan perempuan tentang meningkatnya kekerasan terhadap perempuan di negara ini.”
Pada bulan Juli, pemerintah Khan dikritik oleh aktivis hak asasi manusia ketika muncul berita bahwa mereka telah mengirimkan undang-undang perlindungan dan pencegahan kekerasan dalam rumah tangga tahun 2021, yang dirancang untuk menawarkan perlindungan kepada perempuan di bawah ancaman kekerasan dalam rumah tangga, ke Dewan Ideologi Islam (CII) untuk ditinjau. Badan tersebut, yang seluruhnya terdiri dari laki-laki, memeriksa hukum untuk memastikan mereka selaras dengan nilai-nilai dan aturan-aturan Islam.
Pekan lalu, CII mengkritik RUU tersebut dan berbagi keprihatinannya atas “aturan tidak Islami” yang disebutnya akan menghancurkan institusi keluarga.
Chaudhry mengatakan pemerintah berdedikasi untuk membawa perempuan ke dalam politik dan bahwa perdana menteri percaya pada pemberdayaan perempuan. Namun, dia mengatakan bahwa “kita perlu mengubah pola pikir untuk mencegah kejahatan seperti itu terjadi”.
Seorang mahasiswi di National College of Arts di Lahore, yang meminta namanya tidak disebutkan, mengatakan bahwa para wanita Pakistan hidup dalam ketakutan atas berbagai serangan. “Saya harus berpikir dua kali tentang apa yang harus saya kenakan sebelum pergi agar saya tidak terlihat provokatif di depan sopir taksi. Sekarang pergi bekerja telah menjadi olahraga ekstrim, karena Anda harus berpikir dua kali dan Anda tidak boleh gegabah dalam hal apapun.”