OMS Serukan Perlindungan Keanekaragaman Hayati dari Ancaman Industri Ekstraktif
Berita Baru, Jakarta – Menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keanekaragaman Hayati COP16, sejumlah organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia menyerukan kepada pemerintah dan komunitas internasional untuk memperkuat perlindungan terhadap keanekaragaman hayati yang semakin terancam oleh aktivitas industri ekstraktif. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati terbesar di dunia, menghadapi risiko tinggi akibat deforestasi dan kerusakan ekosistem yang disebabkan oleh pertambangan, penebangan hutan, dan proyek strategis lainnya.
Ogy Dwi Aulia dari Forest Watch Indonesia (FWI) menyoroti bahwa izin-izin industri ekstraktif yang mencakup lebih dari 100 juta hektare lahan di Indonesia telah mengakibatkan kerusakan ekosistem yang kaya akan keanekaragaman hayati. “Sebanyak 20,5 juta hektare industri ekstraktif berada di area penting ekosistem, termasuk koridor satwa dan taman keanekaragaman hayati,” ungkapnya.
Berbagai industri, termasuk nikel, sawit, dan hak pengusahaan hutan (HPH), menjadi sumber ancaman utama bagi keanekaragaman hayati Indonesia. Salah satu proyek yang menuai kritik adalah food estate, program pemerintah untuk meningkatkan swasembada pangan, yang dianggap merusak wilayah adat dan budaya lokal. Di beberapa wilayah seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dan Papua Selatan, proyek food estate mencakup lebih dari 2 juta hektare lahan, yang berdampak buruk terhadap hutan tropis dan ekosistem lainnya.
Menurut Fuad Khabib dari Tim Pemenangan Lilis-Zaeni, proyek ini perlu dievaluasi agar tidak semakin memperburuk krisis lingkungan. “Pemuda harus menyuarakan aspirasi mereka terkait penggunaan APBD untuk mendukung kegiatan yang ramah lingkungan dan pengembangan kepemudaan,” tegas Fuad.
Selain ancaman terhadap ekosistem daratan, keanekaragaman hayati laut Indonesia juga mengalami tekanan yang signifikan. Aktivitas eksploitasi sumber daya laut dan perubahan iklim memperburuk kerusakan lingkungan laut. Organisasi masyarakat sipil menekankan perlunya mempercepat perlindungan terhadap 30% wilayah laut Indonesia, sesuai dengan Indonesia Biodiversity Strategic Action Plan (IBSAP), demi melindungi spesies laut dan memastikan ketahanan pangan bagi masyarakat pesisir.
Rayhan Dudayev dari Greenpeace menyatakan pentingnya melibatkan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan perlindungan keanekaragaman hayati. “Akses terhadap keadilan, informasi, serta perlindungan bagi masyarakat adat dan pembela lingkungan harus menjadi prioritas dalam perumusan kebijakan,” ujar Rayhan. Masyarakat adat telah lama menjadi penjaga keanekaragaman hayati melalui kearifan lokal mereka, namun hak-hak mereka sering diabaikan dalam proses pembangunan proyek besar.
Proyek food estate yang dikembangkan di beberapa daerah turut mendapat kritik tajam dari organisasi masyarakat sipil. Program ini dinilai mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar dan memperparah kondisi keanekaragaman hayati di Indonesia. Proyek tersebut tidak hanya mengorbankan hutan tropis yang kaya spesies endemik, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya alam lokal.
Organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia untuk mengambil tindakan nyata dalam melindungi keanekaragaman hayati yang terancam. Pengurangan aktivitas industri ekstraktif di wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi serta penerapan kebijakan yang adil dan berkelanjutan menjadi tuntutan utama. Di KTT COP16, diharapkan Indonesia menunjukkan komitmen yang lebih kuat dalam mengatasi masalah ini dan mendukung perlindungan lingkungan yang inklusif.
Perlindungan keanekaragaman hayati bukan hanya penting untuk ekosistem dan spesies langka, tetapi juga untuk keberlanjutan hidup masyarakat yang bergantung pada lingkungan.