NAPOLI
Penulis: Prof. Ahmad Erani Yustika
Liga bola dunia, khususnya di Inggris, Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Belanda, dan lain sebagainya nyaris hanya pergantian juara di antara segelintir klub saja. Bahkan, hingga saat ini Piala Champions (lambang kedigdayaan klub paling top Eropa yang digelar tiap tahun) cuma mampir tidak lebih dari 20 tim bola elit dunia, dan yang paling banyak menggondolnya ialah Real Madrid.
Hal yang sama juga terjadi di Amerika Latin, seperti di Brasil, Argentina, Uruguay, dan sebagainya. Santos (dan Sao Paolo) dan River Plate (dan Boca Juniors) biasanya menjadi langganan klub dari Brasil dan Argentina yang mewakili Amerika Latin melawan klub Eropa untuk menentukan klub terbaik dunia.
Di Italia, juara liga (Serie A) hanya menjadi pertukaran klub-klub ‘aristokrat’ di bagian utara, seperti Juventus, AC Milan, dan Inter Milan. Sesekali tim lain dari utara, seperti Roma dan Lazio, menggaet gelar liga. Mereka adalah ‘Klub Sultan’ yang punya duit melimpah sehingga bisa mendatangkan pelatih beken dan membeli pemain-pemain keren dunia.
Pemain paling hebat di Italia, juga dunia, memimpikan bisa bermain ke klub Juve (sebutan Juventus) atau Milan. Di Italia sendiri, cuma Milan, Juve, dan Inter yang pernah memenangkan Piala Champions. Sampai saat ini Serie A merupakan salah satu liga paling kompetitif di dunia, selain Inggris dan Spanyol.
Suasana berubah total saat sejak 1984 kala pemain paling tersohor kala itu, Maradona, bergabung dengan ‘klub paria’ yang bernama: Società Sportiva Calcio Napoli (biasa disebut SSC. Napoli). Sebelum bergabung ke Napoli, Maradona bermain di salah satu klub paling kaya dan sukses di dunia hingga kini: Barcelona.
Maradona mengubah segalanya. Klub pinggiran itu menjadi ganas dan amat diperhitungkan, apalagi ia mengajak pemain raksasa dari Brazil, yaitu Careca. Puncaknya, Partenopei meraih juga liga pada 1986/1987.
Maradona ditasbihkan layaknya seorang ‘nabi’ (yang kemudian dijadikan nama stadion) dan klub ‘Biru Langit’ itu menjebol tanggul klub-klub kaya utara. Napoli menjadi ‘duta besar’ dan ‘suara selatan’ dalam dunia sepak bola Italia.
‘Kesadaran kelas’ itu dipelihara lama dan menjadi sumber kekuatan yang tidak berhenti. Juara liga itu berulang kembali pada 1989/1990, Napoli (yang dijuluki juga sebagai kota ‘gila’ karena kemiskinan dan kejahatan) menjadi Obor Selatan yang terus menyala.
Di luar liga Serie A, Napoli juga merebut piala-piala lain (Piala Italia dan Piala Super Italia), termasuk kejuaraan level Eropa di bawah Champions (Piala UEFA).
Namun, semenjak itu Naples puasa gelar liga sangat lama. 10 hingga 15 tahun terakhir punya skuad hebat, seperti striker Higuaian, Cavani, Insigne, Koulibaly, Dries Martin, Hamsik, dan lain-lain, namun hanya berhenti menjadi ‘runner up’.
Tapi, tiap perjuangan selalu ada ujungnya. Musim ini Napoli begitu heroik dan perkasa. Unggul mutlak dan menjadi jawara setelah puasa begitu lama (33 tahun).
Keberhasilan paling agung yang dipersembahkan oleh klub yang berdiri pada 1926 ini sesungguhnya bukan sekadar menjadi juara, namun keperkasaannya meraih itu semua tanpa nama tenar, baik pelatih dan pemain.
Luciano Spalletti jelas bukan tandingannya Klopp, Mourinho, Guardiola, atau Ancelotti. Tapi, ia berhasil meramu pemain ‘tanpa nama’ menjadi mesin pembunuh yang amat menakutkan.
Seluruh klub besar Italia, baik kala bermain di kandang maupun saat tandang, digilas tanpa ampun. Napoli sudah dinyatakan juara ketika kompetisi masih menyisakan 5 laga sisa. Bahkan, jarak poin dengan peringkat dua sebanyak 16 poin!
Naples telah mengembalikan fitrah sepak bola: permainan tim. la mengamini ujaran Alex Ferguson dengan sepenuh hati: “If you need one person to change your destiny, then you have not built a very solid organisation.” Maradona kini tersenyum dari kuburnya.