Momentum Eskalasi Kebijakan Anti SLAPP dari Putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung
Berita Baru, Jakarta – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) mengatakan bahawa enam warga korban Strategic Litigation Against Public Participation (SLAPP) dari Kelurahan Kenanga, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka Belitung yang dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas lingkungan hidupnya dari pencemaran yang terjadi mendapatkan kepastian bahwa jaksa penuntut umum tidak jadi mengajukan kasasi.
“Sebelumnya, kasus ini telah diputus lepas oleh Pengadilan Tinggi Bangka Belitung dengan nomor perkara 21/Pid/2021/PT BBL. Putusan ini patut diapresiasi karena menghentikan SLAPP yang terjadi kepada warga Kelurahan Kenanga yang melakukan perjuangan atas hak atas lingkungan hidup yang sehat dan baik,” kata Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo G Sembiring dalam pers rilisnya Selasa (6/7).
Menurut Raynaldo, putusan tersebut dapat dianggap sebagai salah satu putusan penting dalam penanganan perkara lingkungan hidup karena dua alasan. “Pertama, merupakan putusan Anti SLAPP pertama dalam perkara pidana,” tuturnya.
Kadua, lanjut Raynaldo, menegaskan bahwa perjuangan/partisipasi publik dalam mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat harus dilindungi dari segala serangan hukum strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Raynaldo menjelaskan bahwa dalam putusannya, Majelis Hakim menerima permohonan banding yang diajukan terdakwa dan membatalkan putusan Pengadilan Sungailiat dengan nomor perkara 475/Pid.B/2020/PN.Sgl. Kemudian, Majelis Hakim mengadili sendiri perkara ini dan memutuskan bahwa tindakan warga Kenanga bukanlah tindak pidana dan melepaskan warga dari seluruh tuntutan.
“Selain itu, majelis hakim juga memerintahkan untuk memulihkan hak para warga dalam kemampuan, kedudukan, harkat dan martabatnya. Baiknya putusan ini tetap meninggalkan cerita tentang dampak SLAPP yang dialami masyarakat,” ujarnya.
Raynaldo menceritakan, paling tidak 6 (enam) bulan sejak dakwaan dibacakan, warga korban SLAPP mengalami tekanan karena menghadapi proses hukum, apalagi sempat diputus bersalah pada putusan Pengadilan Negeri. Karenanya, mekanisme Anti SLAPP harus diberlakukan sedini mungkin untuk melindungi hak-hak masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, menurutnya, ICEL meminta kepada aparat penegak hukum untuk menggugurkan SLAPP sedini mungkin untuk menjamin hak masyarakat dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana mandat dari Pasal 28H UUD 9145 dan menjamin serta melindungi hak partisipasi masyarakat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
“Menggugurkan SLAPP dengan mekanisme penghentian penyidikan oleh penyidik (sesuai Pasal 109 ayat (2) KUHAP) dan penghentian penuntutan oleh jaksa penuntut umum (Pasal 14 jo Pasal 140 ayat (2) KUHAP),” tutur Raynaldo.
ICEL juga berharap aparat penegak hukum melakukan koordinasi melalui penegakan hukum terpadu antara Kepolisian, Kejaksaan dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membangun kebijakan bersama penghentian SLAPP. Koordinasi ini dimungkinkan dalam Pasal 95 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Selain ketiga hal tersebut, ujar Raynaldo, ICEL juga memandang penting agar mekanisme Anti SLAPP untuk diatur dalam tingkat yang lebih tinggi yaitu dalam undang-undang. Pengaturan dalam undang-undang akan memberikan jaminan lebih terhadap partisipasi publik, mekanisme perlindungan, remedi, dan kewenangan dalam menghentikan SLAPP sedini mungkin.
“Tentunya, sebelum Undang-Undang Anti SLAPP disusun, maka pemerintah perlu untuk segera menyusun peraturan pelaksana dari Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sebagai langkah awal kebijakan Anti SLAPP yang komprehensif,” tukas Raynaldo.