Meski Tak Direstui China, AS Akan Tetap Jual Drone Canggih ke Taiwan
Berita Baru, Internasional – Pada hari Kamis (6/8), pemerintah Amerika Serikat (AS) dikabarkan sedang melakukan perundingan penjualan empat pesawat nirawak (drone) pengintai SeaGuardian kepada Taiwan.
Kabar itu didapatkan oleh kantor berita Reuters dengan mengutip enam sumber anonim yang akrab dengan masalah ini.
Menurut dua orang sumber, penjualan itu kini sudah disahkan secara diam-diam oleh Departemen Luar Negeri AS, akan tetapi belum pasti kapan pengiriman pesawat nirawak tersebut.
Dua sumber lain juga mengatakan sudah disahkan oleh Departemen Luar Negeri AS, tetapi belum dapat persetujuan Kongres. Persetujuan Kongres terkait hal itu akan dikeluarkan secara resmi bulan September.
Jika menunggu persetujuan Kongres, maka akan ada kemungkinan akan gagal karena kesepakatan pengiriman drone itu dapat memperburuk hubungan Washington dan Beijing, mengingat Beijing menganggap Taiwan adalah bagian dari wilayahnya.
Pada gilirannya, Beijing memprotes negosiasi dan pengiriman itu.
Pesawat nirawak SeaGuardian pada dasarnya adalah pesawat nirawak MQ-9 Reaper yang didesain ulang oleh General Atomics untuk memungkinkannya diterbangkan di wilayah udara sipil di luar AS dalam rangka mematuhi peraturan Uni Eropa.
Sama seperti versi dasarnya, ia tidak hanya mampu melakukan misi pengintaian, tetapi juga melakukan serangan darat.
Akan tetapi, sumber yang diwawancarai oleh Reuters, mengatakan belum jelas apakah keempat SeaGuardian untuk Taiwan itu akan dilengkapi dengan senjata.
Negosiasi yang dilaporkan antara AS dan Taiwan terjadi setelah pemerintah Taiwan dikatakan telah meminta negara-negara lain untuk menjual pesawat nirawak mereka ke Taiwan untuk keperluan militernya.
Menurut Reuters, AS telah mengirimkan tawaran ke Taiwan, termasuk harga pesawat nirawaknya. Perkiraan harga itu sekitar US$ 600 juta.
Pentagon pun mengatakan tidak mengesampingkan kemungkinan menjual senjata ke Taiwan.
Selain itu, Angkatan Laut AS tampaknya telah meningkatkan frekuensi kapalnya melewati Selat Taiwan, suatu tindakan yang sangat tidak menyenangkan bagi Beijing.
Menurut Sputnik, tindakan itu sangat kontras dengan komitmen yang dibuat pemerintah AS pada tahun 1970-an, yaitu kebijakan One-China, di mana AS mengakui Taiwan adalah bagian dari China dengan ibukotanya di Beijing.