Mengungkap Mitos “Privasi” di Internet
Beritabaru.co, Jakarta. – Beberapa pekan ini, salah satu berita yang cukup menjadi pusat perhatian adalah penangkapan pemilik akun facebook Aida Konveksi yang menghina Presiden Jokowi mumi. Ia ditangkap setelah postingannya trending di media sosial.
Aida sendiri menyasal atas perbuatannya dan meminta agar tidak diproses secara hukum. “Saya mohon maaf ya pak. Saya mohon jangan ditahan. Anak saya sakit pak, saya rawat sendiri di rumah sekarang. Gimana mereka kalau saya ditahan,” sesal Aida, Selasa (2/7/2019).
Kasus semacam ini tidak hanya dialami Aida, sebelumnya ada banyak pelaku ujaran kebencian dan penghinaan kepala negara di media sosial ditangkap pihak berwajib. Fenomena tersebut, memang meningkat di tahun 2019, bertepatan dengan suasana pemilihan presiden.
Dalam kasus kejahatan dunia maya, kepolisian sepertinya tak mendapati kesulilitan. Tindakan kejahatan seperti di atas, begitu mudah diselesaikan, pelaku ditangkap dengan cepat.
Pertanyaan yang muncul adalah kenapa kejahatan yang berkaitan dengan internet, hususnya dunia maya begitu mudah ditindak?, bukankah data diri atau privasi kita aman di media sosial?
Baik, terlepas dari kasus Aida dan pelaku ujaran kebencian lainnya, pada artikel ini akan dibahas soal (keamanan) privasi pengguna media sosial.
Privasi sebenarnya adalah hak setiap individu dan dilindungi oleh undang-undang. Tetapi di internet, apalagi media sosial, sepertinya hal itu tidak berlaku. Di dunia maya, ruang privat kita begitu mudah direnggut dan dikoyak oleh (ke)kuasa(an) yang berkepentingan terhadap diri kita.
Kenyataan tersebut diakui oleh Hal Varian, chief economist Google, dalam sebuah pidatonya di Silicon Valley pada tahun 2014, menyampaikan bahwa di masa depan masyarakat kapitalis akan diawasi tanpa diberi secuil tempat pun untuk privasi mereka. Menurutnya, hilangnya privasi pengguna setimpal dengan produk serta layanan yang diberikan oleh Google.
Mengambil data dan informasi personal user dilakukan tidak hanya dalam upaya megungkap kasus kejahatan di internet atau media sosial. Tetapi juga untuk melakukan personalisasi produk yang dilayankan oleh Google. Privasi user akan ditukarkan dengan UX yang dipersonalisasi sedimikian rupa, senyaman mungkin. Dengan begitu Google akan mengetahui paling tidak lokasi anda, budget anda, dan makanan kesukaan anda.
Device demi device membantu korporasi seperti Google untuk membangun panoptikon, tanpa memberi ruang privasi atas diri kita. Dengan terus berkembangnya teknologi dan pengaplikasian IoT serta smart city dalam kehidupan masa kini, tidak ada alternatif lain bagi diri kita untuk lepas dari pengawasan, selain hidup liar di alam bebas.
Data serta privasi personal kita dikomodifikasi dan dikomersilkan. Data melahirkan prediksi, dan prediksi digunakan untuk melakukan kontrol. Data yang kita miliki digunakan untuk mengontrol diri kita. Big data digunakan untuk memrediksi kemungkinan-kemungkinan di masa depan. Data dari masa lalu menggambarkan pola perilaku, yang bisa menunjukkan kemungkinan perilaku di masa depan.
Mungkin malah kebalikannya! Layanan dan produk gratis yang tersedia online mungkin bisa berubah menjadi “sangat mahal”, terutama bagi mereka yang tidak menyadarinya.
Data dan informasi personal harganya sangat mahal. Dengan menukarkannya, kita mengorbankan demokrasi kita, kemandirian kita, dan akhirnya kebebasan kita.
Dengan bermodal big data kita bisa melakukan emotional dictatorship, mengubah manusia menjadi boneka, tanpa mereka sadari. Dengan begitu seluruh aspek privasi di internet dalam kehidupan seseorang dapat didominasi. Hanya dengan mengetahui respon mereka terhadap stimuli.
Privasi di internet seseorang dimonitor selama 24 jam setiap 7 hari tanpa tempat bersembunyi atau berlindung dari otoritas. “Semakin ketat kita diawasi, semakin kita menjaga perilaku (Jeremy Bentham)”.