Menelisik Ruang Gelap Anggaran COVID-19 di Riau
Koordinator FITRA Riau
Provinsi Riau menempati posisi ke lima besar daerah di Indonesia dan urutan pertama daerah di luar pulau Jawa dengan jumlah peningkatan kasus terkonfirmasi positif COVID-19 tertinggi dalam satu pekan terakhir. Data yang dilansir media informasi resmi pemerintah daerah www.corona.riau.go.id menunjukkan, hingga 21 September 2020 jumlah kasus terkonfirmasi di Riau sebanyak 5.448 jiwa, dengan total kasus meninggal sebanyak 106 jiwa atau 2 persen dari jumlah kasus terkonfirmasi.
Penyebaran wabah COVID-19 di Riau semakin menggeliat sejak dua pekan terakhir. Berdasarkan rekam jejak kasus, hingga 31 Agustus 2020 tercatat total kasus terkonfirmasi sebanyak 1.843 kasus, dengan rata-rata 11 kasus terkonfirmasi perhari sejak ditemukan kasus pertama di Riau pada pertengahan bulan maret 2020 lalu. Sementara dibulan September 2020, terjadi peningkatan kasus sebanyak 3.605 kasus terkonfirmasi atau 66 persen dari total kasus dengan rata-rata 172 kasus ditemukan setiap hari.
Prediksi bahwa akan semakin menggeliatnya jumlah kasus COVID-19 di Riau sebagaimana daerah-daerah lainnya di Indonesia sulit untuk dibantah. Penyelenggaraan Pilkada langsung pada 9 dari 12 daerah Kabupaten/Kota di provinsi Riau diprediksi akan menjadi cluster baru. Meskipun telah ada syarat pelaksanaan Pilkada dengan protocol COVID-19, namun belum jelas bentuk protokol yang dimaksud. Bahkan telah terbukti, terdapat penyelenggara pemilu di Riau yang telah terkonfirmasi positif.
Selain itu upaya penanganan penyebaran yang dilakukan masih dipandang sulit untuk mengerem laju penyebaran wabah. Bahkan akhir-akhir ini pemerintah daerah justru memberikan pelonggarkan aktivitas sosial, ekonomi dan pemerintahan, seolah tidak menggambarkan adanya situasi krisis kesehatan. Misalnya, tidak satu pun pemerintah daerah di Riau yang menerapkan skema Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PBSB), atau kebijakan extra lainnya untuk mumutus rantai penyebaran COVID-19.
Benar, pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota di Riau telah melakukan upaya penanganan untuk mengatasi tiga fokus utama yaitu penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial (JPS), dan pemulihan ekonomi nasional (PEN). Pertanyaanya adalah sejauh mana efektivitas anggaran daerah yang disiapkan untuk menangani persoalan tersebut? Apakah daerah telah menyediakan anggaran dengan maksimal? Dan sejauh mana anggaran itu digunakan? Yang jelas, Riau saat ini dihadapkan wabah yang semakin menggeliat, sementara jawaban atas pertanyaan anggaran itu sejauh ini masih gelap.
Anggaran Belum Maksimal
Pemerintah daerah di Riau telah mengalokasikan anggaran penanganan COVID-19 melalui proses refocusing kegiatan dan realokasi anggaran sebagaimana mandat aturan perundang-undangan. Anggaran dialokasikan untuk membiayai penanganan kesehatan, jaring pengaman sosial dan pemulihan dampak ekonomi. Meskipun semua daerah telah mengalokasikan anggaran tersebut, namun komitmen penyediaan anggaran daerah dan pelaksanaanya belum maksimal.
Berdasarkan publikasi Kementerian Keuangan, anggaran penanganan COVID-19 yang dialokasikan pemerintah se-Provinsi Riau sebesar Rp1,8 triliun, dimana rata-rata daerah mengalokasikan sebesar 7 persen dari total belanja daerah setelah penyesuaian. Pemerintah Provinsi Riau mengalokasikan anggaran Rp474 miliar atau setara dengan 6 persen belanja daerah, sedangkan Indragiri Hulu, Rokan Hilir, Siak, Bengkalis, Rokan Hulu, dan Meranti mengalokasikan sekitar 6 persen sampai 8 persen. Hanya Kota Dumai yang merealokasi APBD untuk penanganan COVID-19 setara 14 belanja daerah atau sebesar Rp221 miliar. Adapun daerah yang hanya mengalokasikan anggaran COVID-19 sebesar 5 persen kebawah yaitu Kampar, Pelalawan, Kuantan Singingi, dan Kota Pekanbaru sebagai wilayah episentrum COVID-19 di Riau yang paing parah.
Sedikitnya alokasi anggaran berdampak pada keterbatasan kemampuan daerah dalam membiayai ketiga fokus penanganan COVID-19, khususnya JPS dan PEN. Hal itu terjadi pada Indragiri Hulu yang tidak mengalokasikan JPS, juga pada Pelalawan dan Kota Pekanbaru yang tidak mengalokasikan PEN. Sedangkan Provinsi Riau sendiri, hanya mengalokasikan anggaran untuk PEN sebesar Rp25 miliar.
Provinsi Riau dan seluruh Kabupaten/Kota di dalamnya mendapatkan sanksi penundaan Dana Alokasi Umum (DAU) 35 persen sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 110 tahun 2020, karena tidak mampu memenuhi prasyarat minimal untuk mengalokasikan anggaran COVID-19 setara 35 persen dari belanja barang/jasa dan belanja modal, serta mengalami keterlambatan dalam melaporkan hasil refocusing kepada pemerintah.
Berdasarkan hitungan Fitra Riau, potensi anggaran yang dapat dialokasikan pemerintah daerah se Riau untuk penanganan COVID-19 mencapai lebih dari Rp3,5 triliun. Hal itu didasarkan atas realokasi dari belanja pegawai, belanja barang/jasa, belanja modal dan sumber pendapatan yang ditetapkan untuk penanganan COVID-19.
Selain alokasi yang tidak maksimal, pelaksanaan anggaran juga mengalami persoalan. Dari Rp447 miliar dana COVID-19 yang dialokasikan oleh Provinsi Riau, sampai 31 Agustus 2020 baru terserap 48 persen. Hingga saat ini alokasi anggaran untuk JPS masih belum terealisasi 100 persen yang seharusnya sudah dapat diterima masyarakat, akibat dari persoalan data, sedangkan untuk PEN sama sekali belum terealisasi. Sementara realisasi anggaran di tingkat kabupaten tidak dapat diketahui secara jelas oleh publik alias gelap gulita.
Berdasarkan hasil penelusuran FITRA Riau melalui saluran media informasi resmi pemerintah daerah, ditemukan bahwa tidak ada satupun daerah di Riau yang mempublikasikan informasi program, kegiatan dan anggaran penanganan COVID-19 secara detail dan pro-aktif. Baik alokasi anggaran maupun realisasi anggaran, tidak ada yang disampaikan kepada publik melalui media informasi yang mereka miliki. Sehingga publik tidak dapat mengetahui secara detail apa yang direncanakan oleh pemerintah daerah, serta sejauhmana dari rencana-rencana program, kegiatan dan anggaran itu dilakukan hingga saat ini.
Tentu, temuan-temuan ini tidak serta merta untuk menuduh bahwa pemerintah daerah sama sekali tidak bekerja atau tidak melaksanakan upaya-upaya penanganan. Namun, sulit untuk mengatakan bahwa apa yang dilakukan pemerintah daerah telah efektif dalam menangani wabah dari tiga aspek tersebut, termasuk untuk membuktikan akuntabilitas pengelolaan anggarannya.
Karena fakta menunjukkan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik terakit program, kegiatan termasuk anggaran dalam penanganan COVID-19 baik di Provinsi maupun ditingkat Kabupaten/Kota di Riau sangat minim. Sementara itu jumlah kasus semakin meningkat dan tingkat kematian juga mengalami peningkatan yang cukup drastis.
Maksimalkan Anggaran Dan Buka Informasi
Kondisi pandemi tidak dapat diprediksi kapan akan berakhir, data menunjukkan peningkatan dan penyebarannya semakin menggeliat. Sementara kesiapan dan langkah-langkah apa yang akan diambil oleh pemerintah daerah dalam rangka penanganan tersebut dari sisi kebijakan program dan anggaran belum terlihat. Peningkatan penyebaran COVID-19 ini dapat dipastikan akan berdampak terhadap kesiapan fasilitas dan sarana untuk menangani baik pada aspek kesehatan, dan juga penanganan pada aspek sosial dan ekonomi.
Adanya momentum pembahasan perubahan APBD tahun 2020 dan Rancangan APBD tahun 2021 harus digunakan untuk memastikan kesiapan daerah kedepan dalam menghadapi pandemi ini. Pemerintah daerah masih sangat perlu untuk memfokuskan kebijakan program dan anggaran untuk penanganan COVID-19 di berbagai aspek pada tahun 2021. Dengan kata lain, pemerintah tidak boleh pelit untuk mengalokasikan anggaran COVID-19, tentu saja dengan merumuskan strategi dan arah kebijakan yang jelas dan terukur.
Sebagaimana mandat Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, sudah seharusnya pemerintah daerah menyampaikan informasi-informasi secara detail kepada masyarakat terkait dengan program dan anggaran, mulai proses perencanaan sampai tahap realiasasinya. Menyampaikan informasi kepada media massa tidaklah cukup, karena informasinya terlalu umum dan tidak jelas.
Mempublikasikan informasi anggaran adalah kewajiban yang harus dilakukan pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam undang-undang. Dengan membuka informasi, memberikan kemudahan kepada seluruh elemen masyarakat untuk melakukan pengawasan, maka akan dapat meningkatkan kepercayaan publik kepada pemerintah daerah.