Mencermati Stereotip Wanita: antara Fiksi dan Aksi
Pernahkah anda mendengar atau membaca cerita tentang “Perawan Lembah Wilis” gubahan Asmaraman Kho Ping Hoo? Diceritakan di dalamnya, seorang wanita yang dikenal sebagai harimau bersayap. Pelabelan ini beriringan dengan keterampilannya dalam adu tanding yang memukau. Desas-desusnya, ia tidak pernah kalah di palagan dan telah melakukan banyak pembunuhan. Ia menjadi buah bibir orang-orang di sekitarnya.
Endang Patiboro Namanya. Ia gadis liar dan tanpa tandingan, tetapi setelah menikah dengan Pangeran Panjiwarit, ada yang bergeser dalam dirinya. Pasca-menikah, Endang cenderung lebih kalem dan lemah lembut. Panjiwarit dengan segenap kepercayaannya atas Endang berhasil menciptakan ruang dalam diri Endang yang dengannya Endang bisa nyaman dalam bertindak, terutama berkenaan dengan desas-desus negatif tentang dirinya.
Menelisik perubahan kepribadian Endang tersebut, Foucault (1990) pernah mengatakan wanita “ada” karena kita menghadirkannya. Artinya sosok wanita merupakan bagian dari manifestasi ide kita sebagai manusia. Bagaimana wanita berhubungan dengan seseorang dan menyikapi lingkungan di sekitarnya. Pandangan ini memang cukup mengundang kontroversi.
Namun, dalam cerita Asmaraman Kho Ping Hoo di atas, boleh dibilang wanita diposisikan sebagai makhluk yang memiliki ruangnya sendiri, ruang relatif, sebagaimana pria memilikinya. Ruang ini pun bukan berupa ruang imajiner yang sekadar ada di level konsep, tetapi nyata adanya (manifested) seperti pria memiliki ruang yang lebih lebar untuk bekerja.
Kenyataan bahwa, untuk konteks Indonesia, tidak sedikit wanita yang menjadi tulang punggung keluarga melalui kebijakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di luar negeri merupakan salah satu bukti adanya ruang emansipatif yang nyata untuk wanita. Menurut Irwan Abdullah, ruang emansipatif adalah kemerdekaan diri. Istilah yang terakhir ini bisa kita pahami sebagai adanya kemerdakaan wanita untuk melakukan tiga penjagaan yang mendasar sekaligus—bahasa maqasidi-nya—yakni menjaga pekerjaan (hifz al-mal), pola pikir (hifz al-‘aql), dan harga diri (hifz al-‘irdl).
Lebih jauh, Hilal (63:2020) menegaskan, lingkup utama harga diri adalah keluarga. Ketika wanita memiliki ruang untuk mengelola serta mengembangkan harga dirinya (hifz al-‘irdl), itu berarti apa yang menjadi pertimbangannya bukan semata personal, tetapi keluarga. Wanita dengan cara pandang seperti ini adalah wanita yang memiliki ruang emansipatif.
Dalam konteks cerita gubahan Hoo di atas, Panjiwarit sukses memberikan Endang ruang tersebut, sehingga Endang bisa menyelamatkan harga dirinya dari gempuran pelemahan-pelemahan pihak luar yang masih saja melihat Endang secara negatif pada satu sisi dan berhasil membangun kemerdekaan barunya sebagai istri sekaligus wanita pada sisi lain. Di sini kita bisa melihat bagaimana potret wanita dalam cerita fiksi.
Apa yang terjadi di lapangan, terutama akar rumput, menampilkan kisah yang berbeda. Di masyarakat, wanita masih sering diperlakukan sebagai makhluk nomor dua dengan adanya tuduhan serta pemahaman yang bias, termasuk masih adanya praktik poligami di beberapa lingkaran masyarakat seperti beberapa tokoh agama yang istrinya lebih dari satu.
Dhofir Zuhry menyebut, adanya praktik poligami berkelindan dengan dua hal. Pertama, poligami adalah dampak dari kesalahpahaman dalam mendekati teks agama. Ketika Nabi menikahi lebih dari satu perempuan tidak bisa kita pahami sepenuhnya sebagai poligami, tetapi proses menuju monogami.
Mengapa? Karena dalam tradisi Arab dulu memiliki lebih dari sepuluh istri dan seratus gundik adalah wajar, sehingga ketika Nabi hanya memiliki istri sembilan—dan ini pun diurus secara layak dan dalam ikatan yang sah—maka ini adalah kemajuan atau proses menuju monogami. Untuk memahami Al-Quran dan Hadis pun, kita perlu untuk mendekatinya secara historis.
Kedua, poligami berpotensi menimbulkan efek pobia bagi salah satu keluarganya, entah anak atau saudara-saudaranya, terutama yang wanita. Efek sederhananya adalah munculnya perasaan di benak anak perempuan—misalnya—bahwa wanita berada dalam kungkungkan laki-laki. Di level tertentu, perasaan seperti ini bisa memicu adanya semangat untuk keluar dari keterkungkungannya dan menunjukkan kemerdekaannya.
Semangat sedemikian rupa pernah ditunjukkan oleh Rabiah al-Adawiyyah, salah satu sufi perempuan yang populer. Salah satu yang kerap dikisahkan tentang luhurnya semangat kemerdekaannya adalah ketika ia dilamar banyak ulama keren kala itu, tetapi ia secara tegas menolaknya. Cintanya kepada Tuhan tak bisa ia tukar dengan rayuan para pria yang mendekatinya. Cintanya pada Tuhan membebaskan, sedangkan cintanya pada pria mengungkung.
Walhasil, bicara kemerdekaan diri, tidak saja bicara tentang laki-laki, tetapi juga perempuan. Kemerdekaan diri tidak terbatas pada gender tertentu. Artinya wilayah kemanusiaan itu justru menjadi ruang dasar dan fondasi dalam kehidupan, sehingga wilayahnya bukan lagi benar dan salah, tetapi maslahah. Dengan demikian, falsafah seje deso mowo coro juga berlaku untuk konsep kemanusiaan. Setiap manusia baik pria maupun wanita tentu memiliki kedalaman berpikir dan orientasi kemerdekaan diri yang beragam, jika tidak unik.[]
Santri sekaligus Founder Gubuklawas.com