Membumikan Moderasi Beragama: Wacana dan Praktik
Al Muiz Liddinillah
Sabang sampai Merueke berjajar pulau-pulau, berbaris pula agama-agama yang ada. Indonesia selain dikenal dengan suburnya potensi alam, negeri ini juga subur dengan kepercayaan dan agama-agama. Keberagaman agama di Indonesia sangat dipengaruhi oleh potensi lingkungan dan kebudayaannya.
Keberagaman agama dilindungi oleh undang-undang, bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Pada sila pertama, para pendiri bangsa merumuskan penghayatan bangsa akan agamanya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Para pendiri bangsa sedari awal telah memikirkan nasib bangsa beragama ini. Dengan kata lain, moderasi beragama sudahlah ada sejak republik ini berdiri.
Akan tetapi, sebenarnya apa moderasi beragama itu? Moderasi berasal dari kata moderat, jalan tengah, atau menghindari perilaku yang ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Moderat adalah pikiran dan perilaku pada jalur alternatif, jalan tengah itu sendiri.
Sedangkan, beragama adalah sikap warga negara dalam menghayati dan mempraktekkan nilai agamanya – baik yang bersifat ketuhanan atau kemanusiaan. Beragama menuntun sikap baik yang bersumber dari kitab atau ajaran agama itu sendiri. Sikap baik itu lah yang kemudian diidentikkan dengan sikap umat beragama.
Lalu, pertanyaan lain, bagaimana jika ada umat beragama yang tidak bersikap baik? Apakah bisa disebut beragama atau tidak? Itu pertanyaan lain yang perlu diperbincangkan secara mendalam. Penulis kira, itu bisa saja terjadi, umat beragama yang berperilaku baik.
Di lain sisi, ada yang berbuat baik tanpa agama, tanpa Tuhan bahkan, good without God. Kebaikan tanpa Tuhan apakah bisa dikatakan kebaikan. Misal saja ada orang Korea yang tidak beragama tapi Ia gemar berbuat baik kepada orang lain, baik yang beragama atau tak beragama. Orang Korea tersebut sudah terbiasa berbuat baik dengan memberi makan orang terlantar, berkata sopan, menghormati orang tua, menyayangi yang muda, menghargai pendapat orang lain, bahkan menghargai pilihan hidup orang lain – baik keyakinan atau gagasan.
Orang Korea yang berbuat baik tanpa Tuhan itu layak menjadi cambuk bagi kita umat beragama. Mengapa, kecenderungan akhir-akhir ini umat beragama kerap dikaitkan dengan aksi terorisme, pedofilia, predatorisme, koruptor, dan sebagainya.
Lihat saja fenomena akhir ini baik di televisi atau media sosial. Mereka, pelaku teror, pedofilia, kekerasan seksual, koruptor, dan kejahatan besar lain di Indonesia, pelakunya adalah orang beragama. Jangan bilang kadar keagamaannya yang kurang atau minim, yang jelas maksud penulis adalah mereka pelaku kejahatan itu adalah orang beragama.
Misal saja, pelaku teror bom Bali, bom panci, bom bunuh diri di Gereja Surabaya beberapa waktu lalu, mereka adalah orang-orang yang beragama. Sama halnya yang terjadi di Vietnam, India, atau bahkan Amerika Serikat. Orang-orang beragama bereperang memperebutkan keakuan keberagamaannya.
Dari beberapa kasus di atas, moderasi beragama sebagai wacana dan praktek sangatlah penting dibumikan kembali. Wacana baik bahwa agama adalah sumber nilai baik tidaklah patut diciderai dengan perilaku umatnya yang menyimpang. Agama apapun menebar rahmat bagi semua orang dan alam semesta.
Moderasi beragama sebagai langkah menapaki jalan kerukunan antar umat beragama menjadi jalan alternatif mendakwahkan nilai-nilai agama dengan santun di jalan tengah. Jalan tengah ialah jalan yang tidak letoy dan keras. Jalan moderasi beragama ialah jalan yang tegas di mana umat beragama berpendirian dan berpegang teguh pada nilai.
Jangan dikira moderasi beragama ini jalan yang lembek terhadap segala fenomena, itu adalah tafsir yang keliru. Moderasi beragama memegang prinsip yang progresif dan membebaskan. Agar hidup bermasyarakat dan beragama menjadi tenang dan damai maka moderasi beragama perlu digaungkan.
Moderasi beragama juga penting menjadi bahan evaluasi atau kritik diri dalam agamanya. Jika ada praktik keberagamaan yang keliru dari agama tertentu, maka selayaknya kritik dan perbaikan dilakukan. Jangan hanya moderasi beragama ini menjadi keharmonisan antar umat beragama saja, tapi keharmonisan antar umat se-agama juga dilupakan.
Maksudnya, jika di tubuh agama itu mengalami cidera akut, misalnya pada praktek beragama X, banyak ditemukan korupsi, teror, dehumanisasi, kekerasan, yang juga dilakukan oleh pemuka agamanya, maka sebagai umat se-agama berhak dan wajib menegur dan memperbaiki perilaku keagamaannya.
Selain itu, hematnya, parameter lain dari keberhasilan moderasi beragam di negeri ini ialah sejauh mana keharmonisan yang terjadi di desa yang terdiri dari warga NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, atau Syiah di sebuah desa, kota, atau negara. Seberapa rela orang NU membiarkan orang Muhammadiyah membuat masjidnya sendiri. Bahkan, seberapa intens mereka berdialog dalam membangun masyarakat madani.
Potret kecil itu kadang sulit direalisasikan di negeri ini. Beberapa orang cenderung memusuhi yang sesame agama, dengan berbeda aliran. Tapi kalau dengan yang berbeda agama mereka bisa bersikap toleran. Oleh karen itu, agar moderasi beragama ini bukan hanya bergaung di udara, maka pesan baik, kebijakan baik, praktek baik, dan dialog perlu digairahkan – sebagai wujud nyata bahwa moderasi beragama adalah jalan menuai keharmonisan keberagamaan.
Penulis: Redaktur Beritabaru