Membebaskan Trauma Pemilu Proporsional Tertutup
Opini: Muhammad Darwis
(Anggota Komisioner Bawaslu Sumenep)
Perdebatan pro-kontra sistem pemilu proporsional terbuka menjelang pemilu 2024 sebenarnya hanya perihal tentang ketakutan Partai Politik peserta pemilu pada caleg pragmatis bermodal popular tanpa ada ikatan ideologis dan bukan berada pada struktur partai politik. Bagi yang pro, menjatuhkan pilihan pada sistem pemilu proporsional terbuka adalah langkah pembebasan trauma akan pengalaman pahit pada penerapan sistem pemilu proporsional tertutup selama pemilu-pemilu di masa Orde Baru.
Konteks perdebatan sistem pemilu proporsional terbuka dapat dicermati pada permohonan Nomor : 114/PUU-XX/2022 di Mahkamah Konstitusi yang saat ini tengah sampai pada acara dengar pendapat ahli (15/5/2023). Pada pokok perkaranya, pemohon menghendaki otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai. Memang, evaluasi produk pemilu 2019 bermuara pada banyaknya legislatif terpilih belum memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik. Akibatnya, saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD, mereka ‘seolah-olah’ bukan mewakili organisasi partai politiknya namun mewakili diri sendiri.
Sejak awal reformasi arah sistem pemilu telah menyepakati sistem proporsional terbuka bukan proporsional tertutup. Publik kali ini benar menanti output putusan Mahkamah Konstitusi Repubik Indonesia apakah akan muncul penegasan variable teknis tanpa meninggalkan ambiguitas dalam implementasinya bila sistem pemilu tetap diputuskan proporsional terbuka. Sebab pilihan atas sistem pemilu merupakan koheren dengan sistem kepartaian, sistem perwakilan, dan sistem pemerintahan agar demokrasi mampu terkonsolidasi kuat.
Dinamika menuju demokrasi konstitusional adalah bagian dari proses sangat penting untuk memastikan perlindungan, dan pemajuan prinsip-prinsip demokrasi yang berkelanjutan. Dalam hemat penulis, saat perdebatan soal perubahan sistem pemilu sejatinya untuk mendukung proses demokrasi tentu instrumen tersebut dapat berkontribusi pada ketahanan sistem demokrasi itu sendiri. Toh, upaya perubahan ini dilakukan melalui proses yang transparan, inklusif, dan partisipatif yang menghormati norma-norma konstitusional dan nilai-nilai demokrasi.
Jalan Tengah Melupakan Trauma
Demokrasi memberikan pemahaman bahwa sumber daya adalah orang-orang dengan pengertian, orang akan melahirkan aturan yang akan menguntungkan dan melindungi hak-hak mereka. Agar hal ini terjadi, perlu aturan dengan dukungan dan menjadi dasar dalam kehidupan negara untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat.
Sejenak kita mestinya melupakan trauma pada sistem pemilu proporsional tertutup lalu berpikir ulang tentang opsi tersebut. Rasio dari refleksi demokrasi pemilu yang terbuka selama ini kian banyak yang mengevaluasi. Tentu, diperlukan langkah teknis yang bijaksana menyempurnakan sistem pemilu yang terbuka agar instrument kepartaian, sistem keterwakilan, dan sistem bernegara kita juga searah menjadi lebik baik. Misalnya saja, penggunaan nomor urut dan opsi mencoblos partai pada sistem pemilu proporsional terbuka dengan suara terbanyak murni. Masih diperbolehkannya memilih (coblos / contreng) tanda gambar partai tentu wajar Partai Politik menentukan preferensi calon legislatif pilihannya dengan catatan Partai Politik memperoleh suara terbanyak.
Opsi tersebut penulis catat sebagai jalan tengah dari muara perdebatan sistem pemilu tahun 2024. Metode penetapan calon terpilih berdasarkan persentase angka bilangan pembagi pemilih (BPP) merupakan asas demokrasi yang intim. Sebab dalam metode ini, caleg betul dipilih berdasarkan kedaulatan rakyat sehingga ia pantas mengembannya. Sedangkan pada opsi sistem internal kepartaian bila memang suara pencoblosan gambar partai lebih dominan dari calon legislatif, partai dapat mencegah kehadiran petualang politik oportunis atau calon legislatif kutu loncat dengan menentukan keanggotaan kadernya menjadi petugas partai di parlemen.
Periodesasi Status Kader bagi Caleg
Sistem pemilu proporsional tebuka merupakan produk pengalaman buruk pada proporsional tertutup, membawa para pembentuk undang-undang di awal reformasi menjatuhkan pilihan kebijakannya pada sistem proporsional terbuka. Bagi penulis, apapun pilihan sistemnya selama disertai syarat caleg harus berstatus kader partai dalam kurun waktu tertentu seharusnya tidak perlu menimbulkan lagi kekhawatiran berlebih pada calon legislatif yang tak searah dengan ideologi partai.
Pengertian mengenai kekuasaan tertinggi itu sendiri tidak perlu dipahami bersifat monostik dan mutlak dalam arti tidak terbatas. Sebab sudah dengan sendirinya kekuasaan tertinggi di tangan rakyat itu dibatasi oleh kesepakatan yang mereka tentukan sendiri secara bersama-sama yang dituangkan dalam rumusan konstitusi yang mereka susun dan sahkan bersama. Kemungkinan putusan Mahkamah Konstitusi nanti akan sangat mungkin beragam bentuknya bergantung pada daya kritis dan kreativitas hakim yang dipengaruhi oleh dinamika politik mutakhir terhadap fakta persidangan. Selanjutnya kita perhatikan bersama keputusan Mahkamah Konstitusi, dan Tegak lurus kepada putusan Mahkamah Konstitusi menjadi pilihan terbaik bagi kita semua sebagai warga Negara yang baik.