Masyarakat Sipil Tolak Revisi RTRW Kaltim: Berpotensi Rusak Hutan
Berita Baru, Jakarta – Koalisi Indonesia Memantau mengecam rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan seluas 612.355 hektar di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) melalui revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Mereka menganggap revisi tersebut penuh dengan kepentingan yang merugikan.
“Penolakan terhadap rencana pelepasan dan penurunan status kawasan hutan di Kalimantan Timur melalui RTRW,” ungkap Juru Kampanye Auriga Nusantara, Hilman Afif, di Jakarta pada Jumat (7/7/2023) dikutip dari CNNIndonesia.com.
Hilman menjelaskan bahwa penolakan ini didasarkan pada hasil analisis yang telah dilakukan oleh koalisi tersebut. Dalam analisis tersebut ditemukan bahwa kawasan hutan yang akan dilepaskan tersebut telah diberikan 156 izin konsesi kepada perusahaan.
Izin-izin tersebut terkait dengan sektor pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan kebun kayu. Dari tutupan hutan yang ada, sekitar 56 persen dari kawasan hutan yang akan dilepaskan masih berupa hutan alam.
“Hal ini bertentangan dengan komitmen iklim Indonesia,” tegasnya.
Dari 156 izin perusahaan tersebut, sekitar 138.021 hektar merupakan lahan dengan izin IUPHHK-HT (saat ini PBPH-HT). Selain itu, terdapat 39 perusahaan yang terdeteksi beroperasi di kawasan tersebut, dan sekitar 98 persen dari total luasannya adalah pelepasan kawasan hutan.
Selain itu, terdapat pula luasan 25.684 hektar yang masih berupa tutupan hutan alam dan luasan 164.429 hektar yang telah dibebani oleh 101 izin pertambangan.
Dari rincian tersebut, terlihat bahwa sekitar 106.782 hektar atau sekitar 65 persen diusulkan untuk pelepasan kawasan hutan, dan 56.395 hektar atau sekitar 34 persen mengalami penurunan status dari Hutan Lindung menjadi Hutan Produksi Terbatas.
Hilman menjelaskan bahwa revisi RTRW Kalimantan Timur saat ini justru mementingkan kepentingan korporasi, sementara kepentingan rakyat untuk mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya agraria diabaikan.
Koalisi Indonesia Memantau mengkhawatirkan bahwa pengabaian ini akan memperpanjang krisis agraria di Kaltim. Selama lima tahun terakhir, tercatat terjadi 40 konflik agraria di Kaltim.
Dalam hal ini, Kaltim masuk dalam lima besar daerah yang menyumbang konflik agraria pada 2021, luasan konflik agraria pada 2019, dan Catatan Akhir Tahun Konsorsium Pembaruan Agraria dari tahun 2018 hingga 2022.
“Konflik agraria telah menyebabkan masyarakat kehilangan tanah dan sumber daya alam yang merupakan penopang kehidupan, yang berakibat pada kemiskinan dan kerentanan yang semakin meningkat, terutama bagi perempuan,” ungkap Hilman.
Hilman juga menyoroti ketimpangan dalam penguasaan tanah di Kaltim, di mana petani kecil hanya memiliki luasan kurang dari 0,5 hektar hingga 2,9 hektar dengan total kurang lebih 180 ribu hektar, sementara perusahaan memiliki luasan hingga 11,6 juta hektar.
Koalisi tersebut mendesak Pemerintah Daerah Kaltim untuk menghentikan sementara proses revisi perda RTRW, melibatkan masyarakat sipil dalam keterbukaan dan partisipasi, serta menyelesaikan konflik agraria dan melakukan redistribusi tanah di kawasan hutan.
Mereka juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tidak menerbitkan izin usaha dan melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal. Selain itu, ditegaskan perlunya dialog terbuka melalui Tim Terpadu yang melibatkan masyarakat sipil dan menyampaikan hasil penilaian mengenai perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan.