Majelis Hakim Tolak Eksepsi Tim Advokasi Septia Kasus Kriminalisasi Terus Berlanjut
Berita Baru, Jakarta – Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak sepenuhnya permohonan eksepsi yang diajukan oleh Tim Advokasi Septia Gugat Negara Abai (TIM ASTAGA) dalam sidang putusan sela pada Rabu (3/10/2024). Keputusan ini membuat proses kriminalisasi terhadap Septia, seorang mantan buruh yang dituduh mencemarkan nama baik mantan atasannya, tetap berlanjut.
Gema Gita Persada, pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) yang mewakili Septia, mengecam keputusan majelis hakim. “Penolakan eksepsi ini menunjukkan bahwa majelis hakim gagal mengidentifikasi ketidakadilan dalam kasus ini. Pertimbangan putusan sela cenderung hanya melihat dari sudut pandang penuntut umum,” ujar Gema dalam siaran pers Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) pada Jum’at (4/10/2024).
Gema juga menekankan pentingnya dukungan masyarakat dalam mengawal kasus ini. “Hal-hal yang membuktikan bahwa terdakwa tidak patut dikriminalisasi akan semakin terang di proses pemeriksaan kelak. Oleh karena itu, kami meminta seluruh elemen masyarakat untuk terus mengawal hingga keadilan benar-benar tercapai,” tambahnya.
Selain itu, Ganda Sihite dari PBHI menyoroti persoalan kewenangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam mengadili kasus ini. Menurut Ganda, pengadilan tersebut tidak memiliki yurisdiksi atas perkara ini karena lokasi kejadian berada di wilayah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. “Hakim tidak memperhatikan Pasal 143 ayat 3 KUHAP terkait kelengkapan berkas perkara, dan lebih berpandangan pada tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum,” jelasnya.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet, Hafizh Nabiyyin, turut memberikan pandangan kritis terhadap putusan ini. Ia menilai keputusan hakim ini akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, terutama terkait penggunaan pasal karet di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). “Hakim memilih mengakomodir dakwaan jaksa dengan menggunakan pasal karet UU ITE versi 2016. Ini semakin menunjukkan bahwa revisi UU ITE versi 2024 tidak cukup untuk menghentikan kriminalisasi,” tegas Hafizh.
Serangkaian organisasi masyarakat sipil dan serikat buruh turut mengawal persidangan Septia. Perwakilan Federasi Buruh Karawang menyerukan pembebasan Septia tanpa syarat. “Kami, dari Federasi Buruh Karawang, mengawal pembebasan Septia tanpa syarat. Lawan kriminalisasi buruh perempuan oleh pengusaha! Bebaskan Septia!” ujar mereka dengan tegas.
Septia, mantan buruh di PT. Lima Sekawan milik influencer Jhon LBF, dilaporkan ke polisi setelah membeberkan pelanggaran hak-hak pekerja yang dialaminya melalui akun X miliknya. Beberapa pelanggaran tersebut mencakup pemotongan upah sepihak, pembayaran upah di bawah UMP, jam kerja berlebihan, hingga tidak adanya BPJS Kesehatan dan slip gaji.
Pada 26 Agustus 2024, Septia sempat ditahan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat tanpa alasan yang jelas. Ia kemudian menjadi tahanan kota pasca persidangan yang digelar pada 19 September 2024. Septia didakwa melanggar Pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait pencemaran nama baik dan Pasal 36 UU ITE yang dapat memenjarakannya hingga 12 tahun.
Kasus ini terus memicu perhatian dari berbagai pihak, terutama terkait penggunaan pasal-pasal dalam UU ITE yang dinilai represif. Organisasi seperti SAFEnet, PBHI, dan berbagai serikat buruh menyerukan dukungan agar Septia terbebas dari ancaman kriminalisasi yang tak adil.