Mahfud MD Ungkap Penyebab Turunnya Indeks Persepsi Korupsi Indonesia
Berita Baru, Yogyakarta – Menko Polhukam Mahfud MD cukup prihatin karena indeks persepsi korupsi (IPK) di Indonesia turun dari peringkat 38 Tahun 2021 menjadi 34 di Tahun 2022.
“Ini satu keprihatinan karena kita dulu melakukan reformasi itu, indeks persepsi (IPK, red.) kita 20, pada Tahun 1999. Ini setiap tahun naik satu, naik satu, sampai mencapai puncaknya di Tahun 2019, itu 39. Lalu turun 38, lalu tetap bertahan di 38, lalu sekarang turun menjadi 34,” kata Mahfud, dalam sesi wawancara doorstop, sebagaimana diunggah dalam akun YouTube Kemenko Polhukam, Jumat (3/2).
Bahkan menurut Mahfud, sejak pemerintahan reformasi penurunan ini adalah yang tertinggi. “Ini memang penurunan yang tertinggi. Karena memang selama pemerintahan reformasi naik terus. Termasuk pada era Pak Jokowi, naik secara konsisten. Dan tiba-tiba ini turun,” sambungnya.
Lebih lanjut Menko Polhukam tak menampik korupsi di Tanah Air semakin banyak, hal itu dibuktikan dengan maraknya operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Tetapi sebenarnya, kalau peningkatan korupsi itu sendiri normal seperti itu terus. Yang sekarang menjadi masalah kenapa mesti turun,” tuturnya.
Mantan Ketua MK itu mengklaim anjloknya IPK Indonesia tersebut bukan karena penegakan hukum, sebab penegakan hukum di bidang korupsi selama ini mengalami kenaikan.
“Ini secara umum turun 34, karena yang dinilai bukan hanya korupsi. Tapi, misalnya perizinan berusaha. Itu orang berpendapat ini banyak kolusi, mau berinvestasi aja kok sulit. Orang sudah punya izin di satu tempat, lalu diberikan izin ke orang lain. Seperti-seperti itu. Sehingga yang masalahnya masalah birokrasi perizinan dan kolusi di dalam proses birokrasi perizinan,” sambungnya.
Oleh sebab itu, kata Mahfud, pemerintah mendorong lahirnya UU Omnibus Law, agar proses perizinan berada pada satu pintu sehingga mudah dipantau.
Selain itu pemerintah juga tengah menggagas program digitalisasi pemerintahan melalui sistem pemerintahan berbasis elektronik (SPBE) yang akan segera disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Ada program digitalisasi pemerintahan yang namanya SPBE. Ini akan segera disahkan oleh Presiden agar korupsi-korupsi, kolusi pembayaran di bawah meja dan sebagainya itu bisa ditangkal,” tegas Mahfud.
Bagi Mahfud, pemerintah perlu bangun digitalisasi pemerintahan agar tidak banyak orang kena OTT (operasi tangkap tangan), tetapi OTT tersebut harus tetap dilakukan sebelum berjalan SPBE.
“Kalau ada SPBE sudah jadi, kok masih ada misalnya korupsi ya tangkap juga. Tapi upaya itu sudah dilakukan,” tuturnya.
Menko Polhukam juga menyinggung, menurunnya indeks persepsi korupsi di Indonesia itu bukan hanya penilaian terhadap pemerintah atau eksekutif saja, melainkan juga pada legislatif dan yudikatif.
“Kalau di eksekutif rasanya kita sudah habis-habisan, dan buktinya ya naik penegakan hukum itu. Tapi korupsi itu ketika pembuatan undang-undang, korupsi ketika proses peradilan dan sebagainya. Dan yang tidak tahu kadang kala lalu menyalahkan eksekutif saja,” terangnya.
Padahal, lanjut Mahfud MD, pemerintah tidak boleh masuk ke proses secara domain dalam proses pembuatan undang-undang, bahkan dalam sistem peradilan pemerintah tidak boleh masuk sama sekali.
“Kita hanya nangkapi orang serahkan ke pengadilan, kalau dibebaskan pengadilan kita tidak ikut campur karena asumsi hukum dalam demokrasi, pengadilan itu bebas, tidak boleh dicampuri pemerintah,” katanya.
Oleh karena itu, lanjutnya, selama ini pemerintah telah dan akan terus bersungguh-sungguh melakukan hal itu.
“Presiden katakan pokoknya jangan pandang bulu, Presiden sudah mengatakan saya akan ‘gigit’ sendiri kalau saya tahu itu. Artinya diserahkan ke KPK atau ke Kejaksaan Agung, dan kejaksaan seperti kita tahu sudah melakukan secara sungguh-sungguh untuk itu,” tegas Mahfud.