MA Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Semakin Sulit
Berita Baru, Jakarta – Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu, serta Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua. Keputusan ini menjadi pukulan berat bagi masyarakat adat Awyu yang berupaya mempertahankan hutan adat mereka dari ekspansi perusahaan sawit di Boven Digoel, Papua Selatan.
Hendrikus Woro, perwakilan suku Awyu, mengaku kecewa dengan keputusan ini. “Saya merasa kecewa dan sakit hati karena saya sendiri sudah tidak ada jalan keluar lain yang saya harapkan untuk bisa melindungi dan menyelamatkan tanah dan manusia di wilayah tanah adat saya,” ujar Hendrikus dalam pernyataan persnya yang diterbitkan oleh WALHI pada Senin (4/11/2024). Ia juga menyayangkan minimnya dukungan dari pemerintah dalam memperjuangkan hak masyarakat adat. “Kepada siapa saya harus berharap dan saya harus berjalan ke mana lagi?” lanjutnya.
Putusan kasasi MA, yang tertuang dalam Nomor 458 K/TUN/LH/2024, dikeluarkan pada 18 September dan baru dapat diakses secara publik pada 1 November. Dalam keputusan tersebut, seorang hakim, Yodi Martono Wahyunadi, memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) terkait tenggat waktu pengajuan gugatan. Hakim Yodi menganggap perhitungan waktu gugatan seharusnya mempertimbangkan hari kerja dan hari libur lokal Papua, namun pandangannya tidak didukung oleh mayoritas hakim lainnya.
“Mahkamah Agung inkonsisten dalam menerapkan aturan yang mereka buat. Padahal Peraturan MA adalah petunjuk bagi peradilan internal,” kata Tigor Hutapea, anggota Tim Advokasi Selamatkan Hutan Adat Papua. Ia menambahkan bahwa meski putusan MA menolak kasasi, dissenting opinion hakim Yodi menunjukkan bahwa izin lingkungan yang dikeluarkan untuk PT Indo Asiana Lestari (IAL) dinilai belum mengakomodasi kepentingan masyarakat adat.
Keputusan ini menambah daftar panjang kesulitan yang dihadapi masyarakat adat Papua. “Ini menjadi kabar duka bagi masyarakat Awyu karena pemerintah dan hukum belum berpihak kepada masyarakat adat,” kata Sekar Banjaran Aji dari Greenpeace Indonesia. Sekar juga menyoroti pentingnya hutan Papua sebagai rumah bagi keanekaragaman hayati yang terancam oleh proyek sawit dan food estate.
Dukungan publik terhadap perjuangan masyarakat adat Awyu tetap kuat. Sebelumnya, lebih dari 253.823 tanda tangan dari masyarakat telah diserahkan ke MA sebagai dukungan bagi kasasi ini, dengan tagar #AllEyesOnPapua ramai diperbincangkan di media sosial. Namun, dukungan tersebut belum mampu mempengaruhi putusan hukum.
Emanuel Gobay, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua, menegaskan bahwa masyarakat adat tetap memiliki hak atas hutan adat mereka. “Pada prinsipnya kepemilikan izin oleh perusahaan tidak menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah,” ujarnya. Emanuel berharap publik terus mendukung perjuangan masyarakat adat Papua dalam mempertahankan hutan yang telah mereka jaga turun-temurun.
WALHI Papua melalui Direktur Eksekutif Daerahnya, Maikel, juga menyerukan solidaritas masyarakat. “Pulau Papua adalah Tanah Adat yang dimiliki oleh dua ratusan Marga. Kami meminta publik mendukung perjuangan suku Awyu dan masyarakat adat di seluruh Tanah Papua,” pungkasnya.
Perjuangan masyarakat adat Awyu dalam mempertahankan hutan Papua masih terus berlangsung. Putusan MA ini menjadi peringatan akan perlunya perbaikan dalam sistem hukum dan perlindungan bagi masyarakat adat yang mempertahankan kelestarian alam dari ancaman ekspansi industri.