LBH APIK Jakarta Ungkap Fakta Kekerasan yang Dialami Dua Remaja Kasus ABH di Duren Sawit
Berita Baru, Jakarta – Kasus dua anak berhadapan dengan hukum (ABH) di Duren Sawit, Jakarta Timur, yang terlibat dalam meninggalnya S (55), telah menyoroti banyak isu kontroversial. LBH APIK Jakarta mendampingi ABH K (17) dan ABH P (16), kakak beradik yang didakwa membunuh S pada 21 Juni 2024. Pada 6 Agustus 2024, Jaksa Penuntut Umum menuntut ABH K dengan pidana penjara 8 tahun dan ABH P dengan pidana penjara 6 tahun, menggunakan Pasal 340 Jo Pasal 55 ayat (1) KUHP di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Dalam Siaran Pers yang diterbitkan dalam akun Instagram LBH APIK Jakarta @lbhapik.jakarta pada Kamis (8/8/2024), tim LBH APIK Jakarta telah melakukan investigasi mendalam di Duren Sawit dan Citayam, Bogor, tempat tinggal ABH dan korban selama 14 tahun. Investigasi mengungkapkan bahwa ABH sering mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dari S, termasuk penyiksaan fisik, kekerasan verbal, dan eksploitasi ekonomi. “ABH kerap menjadi sasaran kemarahan S, terutama saat mabuk dan kalah berjudi,” ungkap seorang perwakilan LBH APIK Jakarta. “Kami menemukan bahwa kekerasan ini mencakup pemukulan, penamparan, dan bahkan pengusiran.”
Pada 19 Juni 2024, sebelum kematian S, kedua ABH mengalami kekerasan hebat. “S membentak K, menuduhnya mencuri ATM milik S sambil mengacungkan pisau,” kata LBH APIK. “S mengatakan, ‘lama-lama gue bunuh lu, gue enggak takut masuk penjara!’ Ancaman ini membuat ABH sangat ketakutan dan cemas.”
Hasil investigasi menunjukkan bahwa tindakan K dan P tidak direncanakan. Mereka melampiaskan kemarahan dan ketakutan mereka secara spontan setelah ancaman kekerasan yang berulang dari S. “Tidak ada perencanaan, semua dilakukan dalam kondisi ketakutan dan stres,” jelas Tim LBH APIK Jakarta.
Lebih lanjut, fakta persidangan mengungkapkan bahwa setelah kematian S, kedua ABH duduk di samping jenazah dan sempat menangis. “Fakta ini menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan pembunuhan berencana,” kata seorang anggota tim pendamping hukum.
Psikolog Forensik, Nathanael Elnadus Johanes Sumampouw, M.Psi., M.Sc., Ph.D., yang dihadirkan dalam persidangan, menjelaskan, “Anak-anak yang berkonflik dengan hukum sering kali merupakan korban dari pengalaman dan situasi kehidupan mereka. Mereka cenderung menggunakan kekerasan sebagai bentuk ekspresi diri atau upaya melindungi diri.”
Tim LBH APIK Jakarta berharap agar Hakim Tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada 8 Agustus 2024 memberikan putusan adil. Mereka mengajukan beberapa harapan, antara lain mempertimbangkan kondisi psikologis ABH, serta merekomendasikan pemulihan psikologis dan rehabilitasi sebagai alternatif hukuman penjara. “Hukuman penjara bukanlah solusi yang bijaksana,” kata tim LBH APIK. “ABH K dan P harus mendapatkan dukungan untuk masa depan mereka, bukan justru diajari kekerasan lebih lanjut di penjara.”