Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Laporan JATAM Ungkap Praktik Kejahatan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)

Laporan JATAM Ungkap Praktik Kejahatan PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP)



Berita Baru, Halmahera – Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengungkapkan praktik kejahatan yang dilakukan oleh PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Temuan ini menyoroti sejumlah isu serius terkait dampak sosial dan hukum dari operasi industri nikel yang melibatkan perusahaan tersebut.

PT IWIP menggunakan berbagai cara untuk menguasai lahan warga. Pola umum yang digunakan adalah melalui jalur legalitas dan prosedural, sering kali melibatkan aparat keamanan. MN, seorang petani dari Desa Gemaf, Weda Utara, menjadi salah satu korban dari praktik ini. Lahan kebun seluas 4 hektar miliknya, yang mencakup tanaman kelapa, pala, cokelat, sagu, dan pinang, digusur untuk pembangunan jalan hauling milik PT Weda Bay Nickel. Sebagaimana di uraikan pada Laporan JATAM berjudul “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi” yang diterbitkan pada Rabu (24/7/2024).

MN menolak menjual lahan yang telah dikelolanya selama lebih dari 30 tahun. Lahan tersebut memiliki nilai ekonomi yang signifikan, mampu menghasilkan Rp 5-10 juta sekali panen dan merupakan warisan bagi anak cucunya. Namun, perusahaan bersama aparat kepolisian bersekongkol untuk memasang garis polisi sebagai tanda bahwa lahan tersebut adalah milik perusahaan. MN terpaksa melepas lahan tersebut dengan biaya ganti rugi yang ditawarkan, yang jauh di bawah nilai sebenarnya.

Kasus serupa juga dialami oleh AB, seorang nelayan di Desa Lelilef Woebulan. Lahan di sekitar rumahnya yang hendak dimanfaatkan untuk membangun gudang penampungan es, ikan, dan peralatan melaut, justru diklaim sepihak oleh pemerintah desa. Perusahaan sering kali menggunakan taktik menerobos lebih dahulu baru melakukan negosiasi, mempersempit pilihan warga untuk mempertahankan lahan mereka.

Warga yang menolak menjual lahannya sering diintimidasi dan diancam. Mereka hanya diberi kompensasi minim dan dihadapkan pada pilihan sulit antara kehilangan lahan atau menghadapi tindakan represif. Perusahaan bahkan mengklaim bahwa lahan yang diterobos paksa adalah milik negara, meskipun warga telah menguasainya selama puluhan tahun dan membayar pajak.

JATAM melalui laporannya juga memaparkan, sejak penetapan kawasan industri pengolahan nikel IWIP sebagai Objek Vital Nasional (Obvitnas), kehadiran aparat keamanan di desa-desa sekitar tambang terus meningkat. IWIP bahkan turut membantu pembangunan Markas Komando Brigade Mobile (Mako Brimob) Batalyon C Pelopor pada akhir April 2021 di dekat kompleks industri IWIP di Desa Lelilef Sawai. Gedung ini mencakup asrama dua lantai dengan kapasitas menampung sekitar 100 personel, kantor dengan 13 ruangan, dan lapangan tembak sepanjang 300 meter.

Berjarak sekitar 46,3 kilometer dari IWIP, terdapat Markas Komando 1512/Weda yang dibangun di Desa Vidi Jaya, Kecamatan Weda. Markas tersebut diresmikan oleh Pangdam XVI/Pattimura, Mayjen TNI Agus Rohman, pada awal November 2020, dua tahun setelah IWIP beroperasi. Pada kesempatan tersebut juga diresmikan Koramil 1512-1/Weda, 1512-02/Patani, dan 1512-03/Gebe.

Meskipun peraturan perundang-undangan, termasuk Perpres No. 109 Tahun 2018 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, tidak mengatur pengerahan aparat keamanan untuk proyek-proyek strategis nasional, dalam beberapa kasus, terutama dalam proses pembebasan lahan perkebunan milik warga serta menekan resistensi para pekerja yang kritis, aparat TNI-Polri justru dikerahkan. Kehadiran aparat keamanan ini menjadi teror dan sumber ketakutan bagi warga dan pekerja yang kritis terhadap tindakan perusahaan. Akibatnya, resistensi warga dalam menuntut hak-haknya seringkali mudah dirobohkan dengan pendekatan keamanan yang represif dan penggunaan perangkat hukum serta regulasi untuk mengkriminalisasi warga dan pekerja.

Selain itu, pada 2018, kecelakaan kerja merupakan hal yang umum terjadi di kawasan industri IWIP. Perusahaan melarang karyawan mengambil gambar saat kecelakaan terjadi atau menyebarkannya di media sosial, dengan ancaman sanksi, surat peringatan, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). Akibatnya, banyak peristiwa kecelakaan yang tidak dilaporkan di media.

JATAM menerangkan bahwa perusahaan lebih mengutamakan mengejar keuntungan, dengan mengabaikan keselamatan para pekerja. Hal ini memicu insiden kecelakaan kerja di kawasan IWIP terus berulang. Pada tahun 2022, tercatat 125 insiden K3 di kawasan industri IWIP, dengan 61 di antaranya melibatkan PT IWIP. Jumlah korban kecelakaan kerja mencapai 42 orang, dengan 26 di antaranya tewas.

Ironisnya, dari rentetan kecelakaan yang menelan korban tewas tersebut, tidak ada satu kasus pun yang diproses hukum untuk meminta pertanggungjawaban korporasi seperti IWIP. Meski terdapat berbagai indikasi kelalaian perusahaan dalam menjamin keselamatan kerja, belum ada sanksi serius yang diberikan. Menurut UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan tenaga kerja. Pelanggaran terhadap aturan ini bisa dikenakan sanksi pidana penjara hingga 4 tahun dan denda hingga Rp400.000.000,00. Namun, hingga saat ini, belum ada tindakan nyata yang diambil terhadap PT IWIP.