KPAI Desak Penanganan Adil dan Inklusif atas Kasus Kekerasan Seksual di Lombok
Berita Baru, Jakarta — Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bersama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Nasional Disabilitas (KND) dalam siaran persnya yang terbit pada Kamis (12/12/2024), mendesak adanya penanganan yang komprehensif, adil, dan berbasis hak asasi manusia dalam kasus kekerasan seksual yang terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kasus ini menyeret seorang pria penyandang disabilitas bernama IWAS (22) sebagai pelaku yang diduga telah melakukan kekerasan terhadap 15 perempuan, termasuk dua anak di bawah umur.
Kasus ini mencuat di tengah pelaksanaan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, yang justru mengungkap betapa pentingnya upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban kekerasan seksual. Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, menyatakan bahwa kasus ini menggarisbawahi pola dan modus kekerasan seksual yang semakin beragam.
“Kasus ini memperlihatkan betapa pentingnya edukasi publik tentang modus kekerasan seksual yang semakin kompleks. Pengetahuan ini penting agar masyarakat dapat mengenali tanda-tanda kekerasan seksual, mencegah terjadinya kekerasan, serta memberikan dukungan yang tepat kepada korban,” ujar Veryanto.
Komnas Perempuan juga menyoroti pentingnya peran masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang aman bagi perempuan dan anak. Upaya ini meliputi peningkatan kapasitas aparat penegak hukum dalam menangani kasus kekerasan seksual secara profesional dan sensitif.
Ketua Sub Komisi Pemantauan Komnas Perempuan, Bahrul Fuad, menjelaskan bahwa Komnas Perempuan telah menerima pengaduan dari Koalisi Anti Kekerasan Seksual NTB yang bertindak sebagai kuasa hukum dan pendamping korban. Koalisi tersebut terdiri dari empat lembaga yang aktif mendampingi para korban.
“Komnas Perempuan terus memantau dan mendalami kasus ini untuk memastikan proses hukum berjalan adil dan transparan sesuai dengan UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Kami juga mendorong agar hak-hak korban, khususnya hak atas pemulihan fisik dan psikologis, dapat terpenuhi,” jelas Bahrul Fuad.
Sementara itu, Anggota KPAI yang juga Pengampu Klaster Anak Korban Kekerasan Seksual, Dian Sasmita, menyampaikan keprihatinannya terhadap dua korban anak dalam kasus ini. Dian menegaskan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dapat menyebabkan trauma mendalam dan berdampak jangka panjang pada perkembangan psikologis mereka.
“KPAI saat ini terus berkoordinasi dengan pihak pendamping kedua anak korban untuk memastikan pemulihan psikologis mereka berjalan dengan baik. Kami mendorong agar korban mendapatkan layanan psikososial yang memadai dan berkelanjutan untuk membantu mereka pulih dari trauma,” ujar Dian.
KPAI juga menekankan pentingnya perlindungan identitas korban anak, termasuk nama, sekolah, dan domisili. Langkah ini bertujuan mencegah trauma lebih lanjut yang dapat memperburuk kondisi psikologis korban. Selain itu, KPAI meminta aparat penegak hukum menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menjerat pelaku, serta memastikan hak restitusi bagi korban.
Komisioner Komisi Nasional Disabilitas (KND), Jonna Damanik, menegaskan bahwa pelaku yang merupakan penyandang disabilitas tetap berhak mendapatkan akomodasi yang layak sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. KND memastikan bahwa langkah-langkah tersebut tidak mengesampingkan hak-hak korban.
“Polda NTB telah memenuhi prinsip-prinsip akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2020. Beberapa langkah yang dilakukan meliputi penilaian personal terhadap pelaku, penerapan tahanan rumah berdasarkan rekomendasi KDD NTB, serta penyediaan pendamping hukum bagi pelaku selama proses hukum berlangsung,” ungkap Jonna.
Jonna juga menegaskan bahwa memberikan akomodasi kepada pelaku tidak berarti mengabaikan hak-hak korban. Sebaliknya, langkah ini merupakan bagian dari prinsip keadilan inklusif dalam sistem peradilan, di mana semua pihak, baik korban maupun pelaku, diperlakukan sesuai dengan hak-haknya.
Ketiga lembaga, yaitu Komnas Perempuan, KPAI, dan KND, sepakat bahwa kasus ini menjadi pengingat akan pentingnya upaya kolektif dalam melawan kekerasan seksual, terutama terhadap perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Penanganan kasus ini diharapkan menjadi contoh bagaimana negara hadir dalam memberikan keadilan bagi korban sekaligus memastikan proses hukum yang adil bagi semua pihak.
Dalam rangka Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, ketiga lembaga tersebut mengajak pemerintah, masyarakat, dan media untuk memperkuat sinergi dalam menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.
KPAI dan Komnas Perempuan meminta agar semua pihak, khususnya aparat penegak hukum, menjalankan tugas mereka secara profesional dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan berbasis hak asasi manusia. Proses hukum terhadap IWAS harus menjunjung tinggi asas keadilan, baik untuk korban maupun pelaku yang merupakan penyandang disabilitas. “Kasus ini harus menjadi pembelajaran penting dalam penguatan sinergi lintas lembaga negara dan masyarakat sipil. Tidak hanya tentang pengadilan pelaku, tetapi juga memastikan korban mendapatkan layanan pemulihan yang memadai, baik secara psikologis, sosial, maupun hukum,” tutup Dian Sasmita.